
SETIAP tahun ketika membahas Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) DKI Jakarta terungkap banyak anggaran untuk hibah. Besarannya bukan satu dua juta rupiah. Juga, bukan satu dua miliar rupiah tetapi bisa sampai puluhan miliaran rupiah bahkan mungkin ratusan miliar rupiah.
Hibah yang selalu muncul setiap tahun, itu tidak masalah selama bantuan berupa hibah ini benar – benar untuk rakyat. Kalau memang itu untuk rakyat, itu harus. Itu perintah konstitusi. Rakyat adalah tujuan pembangunan. Karena itu pula, sebagai wakil rakyat mesti berjuang agar anggaran yang berasal dari uang rakyat itu mesti digunakan secara benar untuk kembali menyejahterakan rakyat.
Tetapi mengenai hibah ini, muncul pertanyaan, apa betul untuk kepentingan rakyat. Kalau memang benar untuk rakyat, tidak masalah bahkan wajib untuk membantu melalui dana hibah. Pertanyaannya, bagaimana mengetahui suatu bantuan berupa hibah betul-betul disalurkan untuk rakyat agar hidup lebih baik. Apa hibah yang diberikan itu tidak ada unsur kepentingan politik berbalut hibah?
Karena dalam politik itu, kata Hannah Arendt, menggapai kebenaran tidak mudah. Banyak virusnya. Virus dusta dan kebohongan karena politik biasanya bersahabat karib dengan dusta dan kebohongan.
Karena ada keraguan akan dana hibah dialokasikan betul – betul untuk rakyat atau tidak, maka terungkaplah dalam rapat Komisi A DPRD DKI Jakarta beberapa waktu lalu. Saat itu rapat Komisi A dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang menjadi mitra kerjanya, membahas perubahan anggaran 2024.
Dalam rapat kerja itu, sementara anggota dewan mempertanyakan hibah yang tidak ada pertanggungjawaban. “Hibah besar tanpa ada laporan pertanggungjawaban. Sementara hibah kecil ribetnya minta ampun,” ujar salah seorang wakil rakyat ketika itu.
Bahkan ada dewan berharap agar perlu pertanggungjawaban dana hibah agar jangan sampai muncul makelar hibah. Artinya permohonan hibah dari tahun ke tahun bisa melahirkan makelar di dunia hibah.
Apa yang terungkap dalam rapat komisi itu sangat penting agar dalam memberikan dana hibah dengan niat baik, niat tulus dan bukan justru melahirkan makelar dan berbaju politik.
Karena itu, kembali lagi kepada Pemda DKI Jakarta dalam hal ini eksekutif maupun legislatif dalam meloloskan hibah. Eksekutif khususnya SKPD yang menangani hibah harus bertanggung jawab atas setiap permohonan hibah. SKPD bersangkutan harus tahu betul kalau permohonan hibah sesuai dengan fakta lapangan bahwa harus dibantu melalui dana hibah.
Sementara legislatif pun ketika permohonan dana hibah itu disampaikan dalam pembahasan di komisi pun jangan langsung disetujui. Harus dipelajari dan dipersoalkan kembali apa betul hibah itu memang perlu diberikan kepada yang membutuhkan.
Pemda DKI Jakarta harus cermat ketika membahas RAPBD DKI Jakarta agar anggaran yang dialokasikan tidak salah alamat, tidak salah kamar, kamar seharusnya tidak diberikan dana hibah.
Mudah – mudahan semua pihak bertanggung jawab dalam pembahasan RAPBD tahun 2025 agar semua dana yang ada bisa digunakan semestinya. Karena banyak anak butuh sekolah, banyak anak Jakarta butuh biaya pendidikan. “Kebodohan adalah penyakit yang tidak kelihatan tetapi sangat merusak,” kata Aristoteles.
Bahkan dalam kaitan dengan pentingnya pendidikan, Samuel Langhorne Clemens atau dikenal dengan Mark Twain, seorang novelis, penulis dan pengajar Amerika Serikat pernah berkata “Lebih mudah untuk membodohi orang daripada meyakinkan bahwa mereka telah tertipu”. (andreas)