
PT Jakpro, BUMD DKI Jakarta. *ilustrasi/ist
ANGGARAN Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta 2025 dialokasikan untuk berbagai kegiatan dan program. Salah satunya mengembangkan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta.
Semua aktivitas atau kegiatan BUMD DKI Jakarta, tentu muaranya kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Karenanya tidak keliru bahkan tidak salah, bila ratusan miliar bahkan triliunan rupiah disuntikan ke BUMD DKI Jakarta setiap tahun.
Suntikan dana atau Penyertaan Modal Daerah (PMD) itu penting karena tujuan mendirikan BUMD jelas, memberikan manfaat bagi perkembangan perekonomian daerah pada umumnya.
Selain itu, tujuan dari pendirian BUMD untuk menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan atau jasa yang bermutu bagi pemenuhan hajat hidup masyarakat. Di samping itu, tujuan didirikan BUMD adalah memperoleh laba dan atau keuntungan.
Dengan demikian, penyertaan modal daerah (PMD) DKI Jakarta ratusan miliar sampai triliunan, harapannya jelas agar perusahaan berkembang dan meningkat serta memberikan manfaat sebesar – besarnya untuk rakyat. Manfaatnya, bukan untuk siapa – siapa. Untuk rakyat, untuk masyarakat.
Menjadi soal adalah BUMD sebagai sebuah usaha seharusnya memberikan keuntungan tetapi dalam kenyataan, tetap saja setiap tahun mendapat PMD Pemda DKI Jakarta.
Dengan menggelontorkan suntikan dana setiap tahun, seharusnya muncul pertanyaan kritis dari Pemda DKI Jakarta baik eksekutif maupun legislatif, apa benar, BUMD dengan suntikan dana ratusan miliar sampai triliunan rupiah memberi keuntungan dan manfaat?
Kalau memang memberi keuntungan, mengapa terus menerus menerima suntikan dana lewat PMD? Kalau BUMD itu tidak memberi keuntungan, apa ada yang salah dengan manajemen, salah pengelolaan keuangan? Apa ada faktor lain sehingga terus menerus rugi atau tidak memberi keuntungan bagi Pemda DKI Jakarta dan harus disuntik dana setiap tahun melalui PMD Pemda?
Apa karena ketidakprofesionalnya para direksi? Atau juga karena kurang pengawasan? Apalagi eksekutif ada juga’yang duduk sebagai komisaris atau pengawas. Pemda dan DPRD DKI Jakarta harus cerdas mengamati, mengevaluasi BUMD sebagai bukti tanggung jawab kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan berhak mendapat pelayanan yang baik.
Pengawasan sekaligus melakukan evaluasi itu sangat penting agar BUMD yang ada jangan sampai menjadi atau memposisikan diri sebagai lembaga sosial yang mesti dan berhak mendapat bantuan atau PMD setiap tahun.
Tambahan lagi, ada BUMD yang sudah mendapatkan PMD ratusan miliar, tersandung masalah hukum. Akibatnya, ada pimpinan BUMD harus menempati rumah gratis atau bui bertahun – tahun. Dan, ada aparat pemda saat ini pun dipanggil KPK terkait persoalan hukum di BUMD DKI Jakarta.
Ada lagi, BUMD mempunyai beberapa anak perusahaan. Ini pun seharusnya menjadi pertanyaan eksekutif dan legislatif. Untuk apa lagi ada anak perusahaan. Kalau ada BUMD mempunyai anak perusahaan, lantas apa kerjanya perusahaan induk?
Apa Induk perusahaan tidak bisa bekerja sehingga dibentuk anak perusahaan. Bila ada bidang baru yang mau dikembangkan mengapa bukan direktur baru sesuai bidang baru yang ingin dikembangkan? Mengapa harus membentuk anak perusahaan?
Semoga, eksekutif dan legislatif dalam membahas rencana APBD tahun 2025 betul – betul fokus untuk kesejahteraan rakyat agar BUMD tidak menjadi lembaga sosial atau yayasan yatim piatu yang harus menerima kucuran dana tiap tahun.
Bila ingin APBD 2025 fokus kepentingan rakyat antara lain pada dunia pendidikan, kesehatan, kemiskinan, macet dan banjir, sebagaimana ditegaskan Ketua DPRD DKI Jakarta Khoirudin maka butuh komitmen sungguh – sungguh bukan narasi indah atau kata – kata indah berbalut politis. Karena di luar itu masih banyak persoalan rakyat Jakarta, misalnya hunian kumuh dan reyot karena tidak berdaya. Semoga. (andreas)