
Maluku, RIC – Perkara korupsi di negeri ini semakin tak terbendung. Berbagai kasus dengan berbagai modus selalu terjadi, bahkan dana – dana sosial yang merupakan hak rakyat kecilpun dirampok seperti yang terjadi di berbagai daerah saat Covid-19 kemarin banyak pejabat publik yang mengambil kesempatan dalam kondisi darurat saat itu.
Seperti halnya kasus dugaan tindak pidana korupsi dana penaggulangan darurat Covid-19 di Provinsi Maluku, salah satu yang menjadi perhatian publik hingga saat ini yaitu yang terjadi pada Pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara.
“Aparat penegak hukum di Provinsi Maluku terlalu banyak pencitraan,” ungkap Direktur Executive Voxpol Network IndonesiabAdhy Fadly, Minggu (15/7/2024).
Pasalnya, kasus dugaan tindak pidana penyalahgunaan dana covid di Maluku Tenggara bukanlah kasus baru. Kasus tersebut telah dilaporkan sejak tahun 2021.
“Jadi aparat penegak hukum, baik itu Kejaksaan maupun Kepolisian, sebaiknya jangan membuat kasus ini terkesan seperti kasus baru. Masyarakat paham betul betapa lemahnya hukum dihadapan mereka-mereka itu. Kalau untuk mempelajari sebuah kasus korupsi, membutuhkan waktu 2 hingga 3 tahun, ya memang korupsi tidak akan pernah selesai,” tutur Adhy.
Menurutnya, berdasarkan data yang diperoleh terkait kasus dugaan penyalahgunaan dana covid pada Pemkab Maluku Tenggara, kerugian negara mencapai angka puluhan milyar.
Selain itu, kata dia, pihaknya dan para pegiat anti korupsi lainnya, bahkan publik Maluku terlebih rakyat Maluku Tenggara masih optimis bahwa kejahatan ini pasti akan tuntas.
“Kita tahu bersama bahwa Ditreskrimsus Polda Maluku saat ini adalah Kombes Hujra Soumena, yang mana telah banyak mengukir prestasi pada wilayah Reskrim. Jadi Kombes Hujra Soumena itu abang – abang kita juga,” ujar Adhy.
Olehnya itu, dirinya mengaku optimis kasus-kasus korupsi dan kriminal lain yang terjadi pada wilayah kerja Polda Maluku akan mampu dituntaskan secara profesional.
Lambatnya penuntasan kasus dugaan korupsi, termasuk kasus dugaan penyelewengan dana covid Pemkab Maluku Tenggara yang turut menyeret nama Thaher Hanubun selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) disebabkan oleh lemahnya para penyidik yang selalu meminta bukti-bukti tambahan dari pihak pelapor agar kasusnya bisa diproses,
“Ini sikap gagal paham aparat penegak hukum,” ujarnya.
Menurut Adhy, sudah sangat jelas dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP disebutkan tindakan penyidik dalam hal menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Kemudian dalam Pasal 1 angka 5 KUHAP tegas menyatakan, tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan. Artinya tugas mendapatkan bukti – bukti tambahan adalah tugas dan kewenangan aparat penegak hukum.
“Jangan dibebani kepada pelapor dong. Jika ini yang terus terjadi maka wajar saja banyak kasus tindak pidana yang dihentikan sebab pelapor tidak bisa memberikan bukti tambahan. Lantas muncul pertanyaan yang digaji siapa, yang disuruh kerja siapa,” cetus aktivis yang terkenal vokal suarakan perkara perkara korupsi dan HAM ini.
Dikatakan Adhy, perlu dipahami setiap laporan dugaan tindak pidana yang terjadi adalah bentuk partisipasi publik untuk mendukung pemerintah dalam memberantas praktek-praktek kejahatan bukan untuk menjadi pesuruh aparat penegak hukum untuk mencari bukti – bukti tambahan.
Saat ini publik Maluku diberikan sebuah harapan, angin segar. Dengan pernyataan dari Ditreskrimsus Polda Maluku Kombes Hujra Soumena, dalam waktu dekat ini akan ada peningkatan dalam menuntaskan kasus – kasus korupsi ADD yang ada.
“Jangan beraninya pada sekelas kepala desa doang,” ucapnya.
Saat disinggung soal adanya kemungkinan mantan Bupati Maluku Tenggara M Thaher Hanubun ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan penyelewengan dana refocusing dan realokasi Covid-19 tersebut, dirinya berpandangan bukan tidak mungkin hal itu dapat terjadi.
Sebab MTH sudah beberapa kali diperiksa terkait kasus ini dalam kapasitas selaku Kuasa Pengguna Anggaran.
Lebih lanjut Adhy mengatakan, potensi ditetapkan sebagai tersangka tetap saja ada, terlebih ada dugaan kuat yang bersangkutan memainkan peran sebagai aktor Mercenary Corruption serta Discretionary Corruption yang mana menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dengan memanfaatkan kebebasan dalam menentukan kebijakan.
“Belum lagi adanya informasi perusahaan fiktif. Ini semakin membuka peluang hal itu terjadi. Sebab itu adalah sebuah kejahatan pidana secara nyata dan dia pun menegaskan tentunya tidak ada yang kebal hukum apalagi terkait dana – dana darurat bencana, dana sosial yang diperuntukan serta merupakan hak masyarakat kecil,” pungkas aktivis asal Maluku ini. *man