Kereta cepat Whoosh. *ist
Jakarta, RIC — Presiden Prabowo telah mengeluarkan pernyataan yang mengguncang nalar sehat dan membuat rakyat marah: mengambilalih tanggung jawab utang kereta cepat Whooosh. Prabowo pasang badan untuk bayar utang Whoosh dan meminta orang lain tidak ikut cawe – cawe masalah ini.
Pernyataan Presiden Prabowo menarik untuk didalami. Apa yang menjadi jaminan Presiden Prabowo berani mengeluarkan pernyataan yang sangat bertolak belakang dengan kehendak rakyat agar utang Whoosh tidak dibayar pakai uang negara dan penjarakan pelaku utama kehadiran Kereta cepat Whooosh: mantan Presiden Joko Widodo dan Luhur Binsar Panjaitan?
Padahal, keuangan negara masih dikatakan tidak baik – baik saja. Jangan jadikan ‘setoran’ dari Kejaksaan Agung senilai Rp13,2 Trilyun dari hasil sitaan korupsi minyak mentah kelapa sawit dan ‘simpanan’ Rp400 Trilyun di Bank Indonesia sebagai tolak ukur jaminan untuk kelancaran bayar cicilan utang Whoosh.
Selain utang Whoosh masih banyak utang warisan mantan Presiden Jokowi. Apa iya Presiden Prabowo mau mengambilalih tanggung jawab semua utang – utang itu?
Terkait hal ini, Pengamat Intelijen dan Geopolitik Amir Hamzah menyatakan, wajar bila publik marah atas pernyataan Presiden Prabowo Subianto, namun kemarahan itu justru membuka ruang untuk mempertanyakan alasan di balik pernyataan Presiden tersebut —sebuah indikasi Prabowo telah memahami kompleksitas masalah yang diwariskan dari proyek era pemerintahan mantan Presiden Jokowi.
“Wajar orang marah, tapi setelah kemarahan itu reda, timbul pertanyaan: kenapa Presiden sampai membuat pernyataan demikian?,” buka Amir Hamzah dalam keterangannya, Kamis (6/11/2025).
Lebih lanjut Amir menjelaskan, jika ditelusuri lebih dalam, pernyataan Presiden Prabowo sesungguhnya mencerminkan pemahaman penuh terhadap kerumitan kontrak, negosiasi dan struktur keuangan proyek Whoosh. Presiden tentu sudah mengetahui berbagai hal yang menjadi sorotan publik —mulai dari siapa negosiator dan penandatangan perjanjian, hingga potensi markup dan korupsi dalam prosesnya.
“Pasti semuanya sudah diketahui oleh Presiden Prabowo. Masalah ini tidak sederhana, tapi multi kompleks dan menyangkut banyak pihak, baik di tingkat nasional maupun internasional,” ujar Amir.
Menyinggung isu yang berkembang di masyarakat bahwa apabila Indonesia gagal membayar utang kepada China Development Bank (CDB), maka Pulau Natuna akan diserahkan kepada Cina sebagai kompensasi.
“Apakah benar demikian? Kan belum ada kejelasan. Kita ribut soal Whoosh, tapi tidak ada yang tahu isi perjanjian itu,” kata Amir.
Menurutnya, transparansi sangat penting agar tidak muncul narasi liar yang bisa memicu instabilitas politik dan sosial. Kompleksitas Whoosh tidak bisa disederhanakan hanya sebagai persoalan ekonomi, tetapi harus dilihat dalam bingkai geopolitik Indo-Pasifik.
Dalam analisisnya, Amir menjelaskan, proyek Whoosh awalnya dibangun melalui konsorsium antara perusahaan BUMN Indonesia (PT KAI, WIKA, PTPN VIII dan Jasa Marga) dengan konsorsium dari Cina. Namun kini, di bawah struktur baru Danantara, posisi konsorsium berubah secara kelembagaan karena BUMN kini berada di bawah badan, bukan langsung di bawah kementerian.
“Perubahan struktural ini punya dampak positif dan negatif, bukan hanya secara administratif, tapi juga kultural. Kalau tidak dikelola dengan baik, bisa ada data dan bukti yang hilang dan itu berbahaya,” tegas Amir.
Penyelesaian proyek Whoosh harus dibedakan antara persoalan hubungan bilateral Indonesia–Cina dan masalah internal dalam konsorsium Indonesia. Kendati para tokoh yang disebut-sebut seperti Joko Widodo, Luhut Binsar Pandjaitan, Sri Mulyani atau Rini Soemarno ditangkap sekalipun, persoalan Whoosh tidak akan selesai dengan cepat.
“Ini bukan soal menanggung atau tidak menanggung utang. Kalau Natuna sampai diserahkan ke Cina, itu malah membuka konflik geopolitik baru dengan Amerika Serikat, Filipina, Australia, dan Jepang,” terang Amir.
Langkah Presiden Prabowo menanggung beban utang sebagai bentuk tanggung jawab politik, tetapi ia menekankan yang lebih dibutuhkan rakyat saat ini adalah keterbukaan informasi. Rakyat mengharapkan bukan hanya tanggung jawab tapi juga kejelasan: siapa yang melakukan markup, siapa yang menandatangani perjanjian dan apakah benar ada klausul Natuna.
Lebih jauh Amir menyoroti peran DPR RI yang menurutnya tidak menjalankan fungsi pengawasan ketika perjanjian KCJB dibuat. Presiden Prabowo juga harus mempertanyakan kepada DPR: kenapa waktu perjanjian ini dibuat DPR tidur dan setuju?
Masalah Whoosh ini bukan hanya tanggung jawab Presiden, tapi juga DPR. Publik kini bertanya-tanya: apakah utang Whoosh akan dibayar menggunakan uang rakyat (APBN) atau sumber lain? Untuk itu, ia mengusulkan dua langkah strategis bagi pemerintah.
Manfaatkan Dana GCA
Mengulas ulang hubungan Indonesia dengan IMF dan Bank Dunia, sebagai bagian dari penataan kebijakan fiskal jangka panjang.
Amir menyebut sejumlah nomor rekening dan data yang diklaim terkait GCA di China Development Bank, dengan pemilik akun atas nama Inderawan Hery Widyanto. Ia menegaskan kesiapannya untuk menyerahkan data tersebut kepada Menteri Keuangan atau langsung kepada Presiden Prabowo bila diperlukan.
“Bila diperlukan, saya siap menyerahkan data-data tentang GCA ini, baik kepada Menteri Keuangan maupun kepada Presiden Prabowo,” tegas Amir, yang juga Juru Bicara dan Juru Runding The Collateral House ini.
Sebagai pengamat intelijen dan geopolitik, Amir memandang persoalan Whoosh bukan sekadar ekonomi, melainkan perang strategi pengaruh antara kekuatan besar di Asia.
“Kalau kita menyerahkan aset strategis seperti Natuna ke China, ini akan mengubah keseimbangan geopolitik Indo-Pasifik. Amerika Serikat dan sekutunya tidak akan tinggal diam, dan ini bisa memicu perang ekonomi baru di kawasan,” kata Amir.
Ia menilai, langkah Prabowo yang memilih menenangkan situasi publik dan mengambil alih tanggung jawab menunjukkan gaya kepemimpinan “damage control”, yakni menenangkan gejolak sambil memetakan akar masalah.
Namun, Amir mengingatkan, Prabowo harus berani membuka data kepada publik, agar tidak muncul persepsi bahwa pemerintah menutupi kesalahan masa lalu. Penyelesaian masalah Whoosh tidak bisa dilakukan secara tergesa-gesa. Ini bukan hanya soal utang dan aset, tapi juga tentang kedaulatan politik dan kepercayaan rakyat.
“Langkah Presiden sudah tepat untuk meredam emosi publik. Tapi yang lebih penting sekarang adalah keterbukaan informasi. Bangsa ini berhak tahu kebenaran tentang Whoosh, siapa yang bermain dan apa yang sebenarnya terjadi,” pungkas Amir. *man