
Oleh: Achmad Fachrudin
Akademisi Universitas PTIQ, Pengurus Lembaga Kebudayaan Betawi
PADA Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI 2024, masyarakat dan kebudayaan Betawi menjadi salah satu wacana, narasi, isu kampanye atau komoditas politik dari para calon gubernur (Cagub) dan calon wakil gubernur (Cawagub) yang laku keras. Bahkan tidak sedikit dimasukkan ke dalam visi misi Cagub dan Cawagub sesuai Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Provinsi DKI Jakarta tahun 2025-2045. Hal ini sesuai dengan UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota serta PKPU No. 8 Tahun 2024 tentang Pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota.
Pada UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Pasal 45 ayat (2) huruf n disebutkan, kandidat kepala daerah harus mengirimkan naskah visi misi sebagai salah satu dokumen persyaratan pencalonan kepala daerah kepada KPU Daerah. Sementara pada PKPU No. 8 Tahun 2024 tentang Pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota mengatur bahwa visi, misi dan program menjadi dokumen persyaratan pencalonan pada awal pendaftaran calon. Serta kegiatan kampanye merupakan proses sosialisasi visi, misi dan program kandidat.
Dengan pengaturan perundangan tersebut, maka visi, misi dan program Cagub dan Cawagub, mempunyai kekuatan hukum kuat dan mengikat. Lebih dari itu, visi, misi dan program kandidat memiliki konsekuensi politis, moral dan etis bagi para kandidat untuk mewujudkannya secara sungguh-sungguh, bertanggung jawab dan konkrit atau praktikal. Karenanya, janji-janji kampanye penting dipelototi secara terus menerus karena pengalaman selama ini menunjukkan, tidak jarang untuk tidak mengatakan seringkali, kampanye politik Cagub dan Cawagub di Pemilu atau Pilkada, lebih banyak sekadar janji, omon-omon dan lip service.
Jika dikorelasikan antara pengaturan di Pilgub DKI tentang visi, misi dan program Cagub dan Cawagub dengan UU No. 2 tahun 2024 tentang Daerah Khusus Jakarta (DKJ), keduanya saling menguatkan. Bahkan pada pasal 31 UU DKJ mengatur kewenangan khusus Pemprov DKI Jakarta di bidang kebudayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) huruf k meliputi: a. prioritas pemajuan Kebudayaan Betawi dan kebudayaan lain yang berkembang di Jakarta; dan b. pelibatan badan usaha, lembaga pendidikan, lembaga adat dan kebudayaan Betawi, serta masyarakat dalam pemajuan kebudayaan. Kemudian, untuk mewujudkan kemajuan kebudayaan Betawi, Daerah Khusus Jakarta berwenang membentuk Dana Abadi Kebudayaan yang bersumber dari APBD.
Dengan demikian, siapapun yang terpilih menjadi gubernur dan wakil gubernur DKI pada Pilgub DKJ 2024, harus melaksanakan amanat dari peraturan perundangan Pemilu/Pilkada dan sekaligus UU DKI. Dan Pemprov DKI, sebagaimana terdapat pasal 31 UU DKJ, diberikan kewenangan khusus untuk mengelola dalam hal memajukan masyarakat dan kebudayaan Betawi. Jadi, implementasi visi, misi dan program kerja dalam memajukan masyarakat dan budaya Betawi sangat tergantung political will dan political act dari Cagub dan Cawagub DKI, terpilih. Masyarakat Betawi yang dimaksudkan disini dalam pengertian geneologis, antropologis, sosiologis dan sebagainya.
Visi, Misi, dan Program Intangible
Kebudayaan sendiri menurut Koentjaraningrat (1923-1999) didefinisikan sebagai seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya dengan cara belajar. Sedangkan menurut Edward Burnett Tylor (1832-1972), kebudayaan adalah sistem kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, kemampuan, serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Kebudayaan banyak ragam atau jenisnya. Esais dan Budayawan Jakob Sumardjo (2011) secara umum membagi kebudayaan menjadi dua, yakni: tangible dan intangible. Budaya tangible adalah kebudayaan yang nampak atau suatu hasil pemikiran yang nampak seperti artefak, perkakas pertanian, senjata, alat musik dan yang lainya. Sedangkan kebudayaan intangible adalah suatu kebudayaan yang tidak nampak dan tersimpan di dalam pikiran masyarakat contoh kebudayaan tak nampak ini adalah tata cara dalam bertani, upacara, ritual dan lain-lain.
Baik kebudayaan tangible dan intangible, hampir semua Cagub DKI menunjukkan komitmen kuatnya. Kita mulai dari yang intangible. Pasangan Cagub dan Cawagub DKI No. Urut 01 Ridwan Kamil dan Suswono (RIDO) misalnya dalam hal pelestarian pranata dan ekspresi Budaya Betawi, sebagai bagian dari visi dan misinya, akan membentuk kelembagaan adat dan budaya Betawi sebagai bentuk sistem yang menata proses dan kegiatan kebudayaan secara resmi.
Pranata tersebut tercipta, menurut Pasangan RIDO, karena peraturan dan norma yang telah disetujui bersama, dimana masyarakat berperan sebagai subyek dengan tujuan mewujudkan Perda Kelembagaan Adat Betawi; pengembangan ekosistem Kebudayaan Betawi diantaranya melalui penambahan wilayah budaya atau kampung betawi, menciptakan sentra-sentra ekonomi wisata dalam memajukan Kebudayaan Betawi; penyelenggaraan Festival Kesenian Betawi dan lain-lain.
Sedangkan Pasangan Cagub dan Cawagub DKI No. Urut 02 Dharma Pongrekun-Kun Wardana Abyoto (Dharma-Kun) diantara program kerja yang yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari visi dan misi menyebutkan, akan mewujudkan akselerasi Jakarta sebagai pusat perekonomian nasional yang terintegrasi secara nasional, regional dan global dalam Simpul Pariwisata, Ekonomi Kreatif, dan Budaya melalui penguatan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) serta pemberdayaan masyarakat.
Sementara Pasangan Cagub dan Cawagub DKI No. Urut 03 Pramono Anung dan Rano Karno (Pram-Doel) dalam programnya yang tertuang dalam visi dan misi, akan melakukan revitalisasi Gelanggang Olah Raga (GOR) Kecamatan dan Ruang – Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) sebagai pusat olahraga dan budaya. Kemudian, penguatan sentra-sentra kebudayaan Betawi di Jakarta. Serta dana abadi kebudayaan untuk budayawan Jakarta.
Tangible, Simbol dan Narasi
Selain secara intangible dalam bentuk visi, misi dan program kerja, secara tangible, komitmen terhadap kebudayaan Betawi dipertunjukkan oleh para Cagub dan Cawagub DKI dan sejumlah pendukungnya dengan menggunakan baju sadariah dilengkapi peci dan cukin atau kain yang menggantung di leher seperti syal ketika mendaftar ke KPU DKI Rabu (28/8/2024), kecuali Paslon Cagub DKI No. Urut 02. Penggunaan busana Betawi dapat dimaknai sebagai simbol dari komitmen untuk memajukan budaya Betawi.
Komitmen para Cagub DKI tersebut juga dapat disimak dari narasi saat debat Cagub edisi perdana Minggu (6/10/2024), maupun di luar debat yang dimuat oleh sejumlah media lama maupun media baru. Saat debat kampanye, Cawagub DKI No. 02 Kun Wardana, berjanji akan memperkuat budaya Betawi dengan menciptakan ekosistem budaya Jakarta yang baik agar budaya Betawi tidak punah. Dengan cara antara lain menyediakan dana abadi bagi kesejahteraan para pelaku seni kebudayaan Betawi, membangun sejak dini pendidikan berbasis budaya Betawi mulai dari SD, SMP, SMA dan seterusnya, membangun pusat komunitas masyarakat Betawi di setiap RW, serta rumah adat Betawi Jakarta dan lain-lain.
Sementara Cawagub No. Urut 03, Rano Karno atau Bang Doel menarasikan, sinetron “Si Doel Anak Sekolahan” bisa menjadi upaya untuk mempertahankan budaya Indonesia terutama budaya Betawi. Tidak berhenti disitu, Pram-Doel juga menandatangani kontrak politik dengan Forum Betawi Rembug (FBR) tentang pembentukan lembaga adat Betawi. Menurut Ketua Umum FBR, Lutfi Hakim, Kamis (3/10/2024), kontrak politik tersebut merupakan kesanggupan Mas Pram dan Bang Doel untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat Betawi secara maksimal. Sementara itu, Forum Komunikasi Anak Betawi (FORKABI) juga dikabarkan mendukung Cagub No. Urut 03 dengan alasan mampu melestarikan kebudayaan Betawi.
Strategi Pengawalan
Mencermati visi, misi dan program para Cagub dan Cawagub DKI 2024, menyeruak optimisme nasib masyarakat dan kebudayaan Betawi paska Pilgub DKI 2024 akan menjadi lebih baik. Meski demikian, agar pengalaman dan kebiasaan buruk dari sejumlah elit politik terulang, yakni: tidak menepati atau mengkhianati janji-janjinya pada kampanye Pemilu/Pilkada, perlu ada kesadaran dari masyarakat khususunya masyarakat Betawi supaya tidak kecele, kecewa atau menyesal di kemudian hari.
Untuk itu, perlu dilakukan strategi sebagai berikut, yakni: pertama, visi, misi, program dan berbagai komitmen yang disampaikan para Cagub dan Cawagub DKI pada Pilgub DKI 2024 tersebut, baik yang intangible (non fisik) maupun tangible (fisik) didokumentasikan atau diarsipkan dengan baik dan rapi. Untuk kepentingan tersebut, sangat mudah karena dapat dilacak jejak digitalnya. Tujuannya sebagai bukti valid dan rekonfirmasi bilamana gubernur dan wakil gubernur terpilih ingkar janji.
Kedua, semua dokumen (visi, misi, dan program kerja) Cagub dan Cawagub DKI, terutama pada poin-poin penting dan krusial dicermati dan dikaji secara komprehensif dan kritis, termasuk dari sisi urgensinya bagi masyarakat Betawi karena boleh dikatakan “yang paling tahu akan masalah yang dihadapi etnis Betawi adalah orang-orang Betawi”. Untuk itu, perlu ada forum khusus untuk membahas dan mengkaji secara resiprokal-kritis, dengan melibatkan Cagub dan Cawagub DKI 2024 serta para tokoh, pemikir atau pelaku kebudayaan Betawi.
Sebagai contoh, pada UU No. 2 tahun 2024 tentang DKJ terdapat istilah lembaga adat, yang begitu banyak terdapat di Indonesia. Untuk lembaga adat khas Betawi seperti apa pengertian, bentuk, tugas, fungsi, peran dan wewenangnya? Ini harus dikaji secara komprehensif dan tuntas supaya semuanya clear. Apalagi jika kembaga tersebut juga didesain untuk mengelola dana abadi kebudayaan Betawi. Jika sudah berhasil diformulasikan pesan dan narasinya, diperjuangkan ke DPRD DKI dan Pemprov DKI sebagai bahan dalam revisi UU No. 4 tahun 2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi.
Ketiga, mengawal dan menagih janji yang sudah dikampanyekan oleh semua Pasangan Cagub dan Cawagub DKI 2024 melalui penyampaian visi, misi, program dan sebagainya terkait memajukan masyarakat dan budaya Betawi. Untuk itu, perlu ada orang atau lembaga yang terpecaya (credible) dan dianggap representasi masyarakat Betawi serta mendapat tugas khusus untuk menagih janji gubernur dan wakil gubernur DKI terpilih agar diwujudkan secara konkrit. Bukan sekadar omon-omon dan janji manis belaka.
Keempat, paska Pilgub DKI 2024 bukan berarti kontestasi selesai. Untuk kontestasi mencari pemenang Pilgub DKI 2024, cepat atau lambat akan rampung. Namun untuk mewujudkan janji-janji kampanye dari secara konkrit, memerlukan jalan panjang dan berliku serta mensyaratkan terdapatnya institusi Betawi yang solid dan merepresentasikan aspirasi dan kepentingan kebanyakan orang Betawi. Jangan sampai, gubernur dan wakil gubernur DKI 2024 terpilih mengalami kesulitan mencari patner atau mitra yang akan diajak kolaborasi guna memajukan masyarakat dan kebudayaan Betawi, termasuk dana abadi kebudayaan. Jika itu terjadi, yang rugi atau ‘salah’ masyarakat Betawi sendiri.
Kelima, jika terjadi insoliditas di kalangan orang atau institusi Betawi, kemungkinannya Cagub dan Cawagub DKI terpilih, akan melibatkan tokoh atau institusi Betawi yang dikenalnya sendiri, atau karena kontribusinya pada pemenangan Pilgub DKI 2024 untuk mengelola kebudayaan Betawi. Sangat mungkin juga akan membentuk lembaga/institusi/instansi baru yang dianggap lebih independent dan steril dari konflik. Jika sampai itu yang terjadi, semua pihak harus menerima resiko dengan legowo. Untuk menghindari kemungkinan tersebut, maka Pilgub DKI 2024 harus dijadikan momentum konsolidasi dan integrasi Bamus Betawi yang terpecah menjadi lebih dari satu. Tujuannya untuk memudahkan mengawal dan mewujudkan komitmen Ke-Betawi-an gubernur dan wakil gubernur terpilih di Pilgub DKI 2024. ***