Pengamat Intelijen dan Geopolitik Amir Hamzah.
Jakarta, RIC — Wacana Budi Arie Setiadi dan kelompok Relawan Pro Jokowi (Projo) ke Partai Gerindra terus memantik reaksi di kalangan internal partai yang didirikan Prabowo Subianto tersebut. Elite Gerindra memilih bersikap diplomatis, suara-suara penolakan di tingkat bawah mulai menggema. Beberapa DPC dan sayap partai secara terbuka menyatakan keberatan terhadap langkah Budi Arie dan Projo yang dinilai terlalu sarat kepentingan pragmatis.
Menurut Pengamat Intelijen dan Geopolitik Amir Hamzah, sikap Gerindra tersebut bukanlah reaksi spontan, melainkan strategi terukur. “Gerindra menggunakan strategi yang sangat tepat. Mereka memanfaatkan dinamika suara di akar rumput dan sayap partai untuk mengirimkan sinyal politik tanpa harus menegur secara frontal,” buka Amir Hamzah dalam analisisnya yang diterima redaksi, Minggu (9/11/2025).
Gerindra adalah partai ideologis yang dibangun dengan semangat nasionalisme dan loyalitas tinggi terhadap Prabowo Subianto. Setiap kader Gerindra harus melalui tahapan kaderisasi, pelatihan dan internalisasi nilai di Hambalang. Itu bukan sekadar simbol tapi sistem pembentukan mental dan disiplin politik.
Sulit membayangkan tokoh seperti Budi Arie —yang dikenal pragmatis dan sering berubah haluan— dapat diterima begitu saja. Gerindra bukan partai yang membuka pintu untuk siapa saja yang sedang mencari kapal politik baru. Apalagi jika jejak digitalnya menunjukkan sikap yang pernah menyerang atau merendahkan Prabowo.
Jejak digital Projo dan Budi Arie memang tak bisa dihapus. Pada masa Pilpres 2019, mereka termasuk kelompok relawan yang keras mengkritik Prabowo dan membangun narasi tandingan. Kini, ketika peta politik bergeser dan kekuasaan berubah arah, upaya mereka mendekat ke Gerindra justru menimbulkan resistensi internal.
Petinggi Gerindra, kata Amir, tentu tidak akan secara terbuka menolak Budi Arie atau Projo. “Mereka akan menjawab secara diplomatis: menghargai semua pihak yang ingin bekerja sama tapi di lapangan, DPC dan sayap partai sudah bergerak lebih dulu menolak. Itu cara Gerindra mengatur keseimbangan: lembut di permukaan, tegas di bawah,” jelas Amir.
Dalam perspektif intelijen politik, langkah ini dikenal sebagai “strategi red-line communication”, yakni penggunaan suara akar rumput untuk menyampaikan pesan politik tanpa menimbulkan gesekan di level elite. Gerindra paham Prabowo kini adalah Presiden, sehingga tak perlu menunjukkan sikap keras secara publik tapi pesan internal tetap disampaikan partai ini punya garis ideologi yang tak bisa ditawar.
Salah satu faktor terbesar penolakan terhadap Budi Arie dan Projo adalah masalah loyalitas. Kalangan intelijen politik membaca pola bahwa kelompok relawan cenderung oportunistik.
“Projo dibangun atas basis loyalitas kepada Jokowi, bukan kepada ideologi atau partai. Dan Jokowi saja kini mulai ditinggalkan oleh sebagian relawan karena kehilangan pengaruh politik langsung. Apalagi Prabowo yang dulu mereka kritik,” ujarnya.
Menurutnya, di dalam sistem politik yang berbasis ideologi seperti Gerindra, loyalitas adalah fondasi utama. Prabowo tidak membutuhkan orang yang pandai bersandiwara politik. Ia butuh loyalis yang siap bekerja dalam garis perjuangan, bukan sekadar menumpang nama besar.
Dalam perspektif intelijen langkah Budi Arie dan Projo mendekat ke Gerindra bisa dibaca sebagai upaya infiltrasi politik. “Gerindra sudah mendeteksi pola ini. Dalam dunia intelijen, setiap gerakan relawan atau kelompok eksternal yang mencoba masuk ke struktur partai dianggap sebagai potensi infiltrasi — bisa untuk mempengaruhi kebijakan, bisa juga untuk mengambil posisi strategis,” terang Amir.
Reaksi cepat dari DPC dan sayap Gerindra menunjukkan struktur deteksi politik di internal partai berjalan efektif. Artinya, sistem intelijen internal Gerindra masih hidup. Mereka tahu mana kawan, mana tamu dan mana pihak yang punya agenda tersembunyi.
Amir menambahkan, di sisi lain, langkah Budi Arie juga merupakan bentuk “balasan politik” terhadap melemahnya posisi politik Jokowi setelah lengser. “Setelah Jokowi tak lagi punya kendali penuh, para loyalisnya mencari perlindungan politik baru tapi tidak semua pintu bisa dibuka. Gerindra bukan tempat pelarian, melainkan rumah bagi pejuang ideologis,” pungkas Amir Hamzah. *man