
Forum Literasi Filantropi Vol 32 Bertemakan "Amil Merdeka, Amil Sejahtera?" yang diselenggarakan Akademizi, Rabu (6/8/2025). *Ist
Jakarta, RIC – Direktur Akademizi Nana Sudiana menegaskan urgensi membangun ekosistem zakat yang menjamin kesejahteraan amil sekaligus mendorong standarisasi kompetensi dan profesionalisme.
“Amil itu ujung tombak. Mereka wajah lembaga zakat. Jadi sudah waktunya kita sepakat bahwa amil tidak cukup hanya tulus, tetapi juga harus kompeten, profesional dan memiliki kinerja yang terukur,” ujar Nana dalam Forum Literasi Filantropi Vol 32 Bertemakan “Amil Merdeka, Amil Sejahtera?” yang diselenggarakan Akademizi, Rabu (6/8/2025).
Nana menyebutkan saat ini ada sekitar 12.000 amil zakat yang aktif di seluruh Indonesia. Namun dari jumlah itu, hanya 7.900 orang yang mendapat gaji tetap. Sisanya masih dalam status kontrak, honorer atau relawan. Ketimpangan ini menunjukkan bahwa belum semua lembaga zakat mampu menjamin kesejahteraan amilnya.
Padahal, menurut Nana, kesejahteraan amil bukan hanya soal gaji, tetapi menyangkut penghargaan atas kinerja, kompetensi dan tanggung jawab mereka dalam mengelola dana umat.
“Amil yang sejahtera itu adalah yang punya standar kompetensi, sertifikasi dan kinerja yang bisa diukur. Lembaga zakat tidak boleh asal menggaji tanpa melihat kualitas SDM-nya. Maka harus ada dorongan dari seluruh stakeholder untuk menjadikan profesi amil sebagai pekerjaan yang terhormat dan layak secara ekonomi,” tambahnya.
Salah satu langkah yang sedang diperjuangkan adalah sertifikasi bagi para amil. Bagi Nana, sertifikasi bukan sekadar administratif, melainkan cara untuk memastikan bahwa amil yang bekerja benar-benar memiliki kemampuan teknis, pemahaman syariah dan etika yang kuat.
“Kita punya PR besar untuk mendorong sertifikasi ini. Karena saat ini, banyak amil yang sudah bekerja bertahun-tahun tapi belum punya sertifikasi. Mereka sebenarnya kompeten, tapi secara formal belum diakui. Ini bisa menghambat jenjang karier dan juga penilaian publik terhadap lembaga zakat,” katanya.
Ia juga menekankan bahwa sertifikasi harus bersifat reguler — bisa diulang setiap lima tahun — untuk menjaga dan memperbarui kapasitas amil terhadap perubahan zaman dan dinamika zakat modern.
Tantangan lain yang diangkat Nana adalah pentingnya meningkatkan status Lembaga Amil Zakat (LAZ) dari kabupaten/kota menjadi LAZ nasional. Tujuannya adalah agar lembaga zakat memiliki daya jangkau yang lebih luas dan pada saat yang sama mampu meningkatkan kesejahteraan para amil.
“Kita ingin amil bekerja dalam sistem yang sehat. Jika LAZ mampu menghimpun dana nasional, otomatis kemampuan menggaji amilnya juga meningkat. Maka penguatan kelembagaan menjadi penting,” jelasnya.
Dalam konteks penghimpunan zakat, Nana juga menggarisbawahi pentingnya kemampuan komunikasi dan pendekatan yang adaptif dari amil. Ia mencontohkan kelompok masyarakat kelas menengah atas yang memiliki potensi besar sebagai donatur, namun belum sepenuhnya memiliki kesadaran zakat.
“Banyak orang yang sebenarnya mau berbagi, tapi merasa tidak nyaman dengan pendekatan keagamaan yang terlalu kaku. Maka amil harus punya skill komunikasi yang fleksibel, cerdas dan membumi. Di sinilah pentingnya gaya hidup yang tidak ketinggalan zaman, agar amil bisa relate dengan berbagai segmen masyarakat,” katanya.
Nana juga menyinggung pentingnya keterbukaan dana operasional lembaga zakat. Ia menilai bahwa selama ini, isu dana operasional dianggap sensitif, padahal justru harus dibuka secara jujur.
“Di negara-negara maju, lembaga filantropi terbuka soal dana operasional. Itu bukan aib. Justru dengan transparansi, publik bisa percaya dan mendukung. Lembaga zakat kita juga bisa belajar dari sana,” ujarnya.
Ia menambahkan dana operasional bukan berarti lembaga berbisnis, tapi sebagai upaya menjaga keberlangsungan program dan memberikan hak yang layak kepada amil.
Nana Sudiana secara khusus menekankan standar kesejahteraan amil harus minimal setara dengan UMK (Upah Minimum Kabupaten/Kota), terutama jika lembaga zakat tempat mereka bekerja sudah mampu menghimpun dana miliaran rupiah.
“Kalau penghimpunan sudah Rp150 miliar per tahun, masa amilnya masih di bawah UMK? Ini soal keadilan. Apalagi kalau mereka sudah tersertifikasi, punya kinerja bagus dan loyal pada lembaga. Ini juga bagian dari membangun trust publik,” tandasnya.
Terakhir, Nana menegaskan bahwa kolaborasi antar-lembaga zakat, pemerintah, dan masyarakat sipil adalah kunci untuk mempercepat profesionalisasi amil dan pertumbuhan lembaga zakat.
“Semakin banyak kolaborasi, makin kuat posisi lembaga zakat di masyarakat. Dan dari situ, kesejahteraan amil akan ikut naik. Kita ingin amil yang merdeka secara ekonomi, dihargai secara sosial, dan profesional secara kerja,” pungkasnya. *ril/man