
Achmad Fachrudin Ketua Program Studi Komunikasi Universitas PTIQ. *ist
Oleh: Achmad Fachrudin, Ketua Program Studi Komunikasi Universitas PTIQ
ISU atau narasi besar menurunnya partisipasi pemilih di Pilkada Serentak 2024, khususnya di Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub) DKI 2024, sudah diprediksi jauh sebelum gelaran Pilgub DKI. Meski demikian, penurunannya tidak seanjlog sebagaimana hasil hitung cepat (quick count) sejumlah lembaga survei maupun real count KPU DKI yang bercokol di sekitar 57 persen lebih. Anjloknya partisipasi pemilih ini sangat ironis. Karena sejak tiga Pilgub DKI sebelumnya (2007, 2012 dan 2019), tingkat partisipasinya selalu angkanya diatas 60 persen.
Berdasarkan pencermatan, cukup banyak faktor yang menyebabkan anjloknya partisipasi pemilih di Pilgub DKI yang jatuh pada Rabu, 27 November 2024. Diantaranya karena cawe-cawe atau political endorse mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada Pasangan Calon (Paslon) Gubernur dan Calon Wakil Gubernur (Cawagub) DKI No. Urut 01 Ridwan Kamil dan Suswono (RIDO). Political ensdorse Jokowi tersebut mungkin memberi benefit electoral bagi Paslon RIDO, namun juga memicu banyak warga enggan datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Senafas dengan di atas, terjadi politik kartel/oligarki partai politik (Parpol) yang memborong tiket Cagub dan Cawagub DKI hingga hanya terdapat dua Pasangan Cagub dan Cawagub dan satu Pasangan Calon Perseorangan. Padahal Putusan MK No.60/PUU-XXII/2024 membuka peluang terjadinya lebih dari tiga Pasangan Calon (Paslon) Cagub dan Cawagub. Tapi itu tidak dimanfaatkan oleh Parpol Peserta Pilgub DKI 2024. Politik kartel ini melahirkan protes sebagian pemilih dalam wujud menolak memberikan suaranya di Pilgub DKI 2024.
Dari Kandidasi Hingga Jenuh
Berbagai faktor lainnya yang menyebabkan turun drastis partisipasi pemilih di Pilgub DKI 2024 diantaranya karena proses kandidasi Cagub dan Cawagub DKI sangat sentralistis dan elitis di tangan pengurus Parpol. Bahkan lebih mengerucut lagi di tangan Ketua Umum partai. Nyaris tanpa konsultasi memadai dengan pengurus Parpol lainnya, kelompok-kelompok strategis, masyarakat luas, termasuk konstituennya. Padahal biasanya elit politik selalu menjargonkan pemilih berdaulat mempengaruhi proses pengambilan keputusan politik yang sangat penting.
Realitas politik tersebut mengakibatkan Cagub dan Cawagub DKI yang diusung Parpol tidak sepenuhnya simetris dengan aspirasi publik. Hal ini berdampak publik merasa diposisikan sebagai objek dan bukan subyek politik. Sementara itu, minimnya atau kurang masifnya pengenalan Cagub dan Cawagub DKI kepada publik oleh Parpol dan tim kampanye, baik melalui media konvensional maupun non konvensional ikut mempertebal berkontribusi terhadap minimnya partisipasi pemilih.
Selain itu, tiga Paslon Cagub dan Cawagub yang bertandang di Pilgub DKI 2024 dianggap kurang memiliki magnitude dan daya pikat bagi pemilih. Serta dianggap kurang memiliki comparative advantage dari sisi kualitas personalitas, popularitas, terutama elektabilitas dibandingkan Anis Rasyid Baswedan, atau Basuki Tjahaja Purnama. Setidaknya hal tersebut berdasarkan hasil survei sejumlah lembaga survei. Hal ini berdampak terhadap psiko politik terhadap pemilih untuk tidak tertarik menyalurkan hak pilihnya pada Pilgub DKI kali ini.
Faktor kampanye yang mengalami defisit kontestasi atau miskinnya pertarungan gagasan dari visi, misi dan program atraktif dari para Cagub dan Cawagub DKI di Pilgub DKI kali ini. Sebaliknya, yang menonjol justeru terjadinya kampanye dengan jebakan isu populisme. Hal ini juga menjadi sebab lain yang menurunkan animo dan partisipasi pemilih untuk menyalurkan hak pilihnya ke TPS pada Pilgub 2024. Faktor cuaca yang mendung dan sebagian kecil diterpa hujan jelang pemungutan suara membuat pemilih, kurang memotivasi pemilih untuk datang ke TPS.
Secara umum, pada Pilgub DKI 2024, publik merasa jengah atau letih karena baru saja mengikuti Pemilu Serentak 2024. Hal ini berdampak menyeruaknya apatisme dan permisif publik luar biasa terhadap proses Pemilihan. Ditambah lagi, kondisi umum ekonomi yang tidak baik-baik saja, menjadikan partisipasi politik bukan utama. Diatas itu semua, terdapatnya perasaan umum umum publik bahwa Pilkada tidak berdampak signifikan terhadap perbaikan nasib rakyat kebanyakan, mengakibatkan Pilgub DKI 2024 kurang menarik minat partisipasi pemilih.
Dari Desain Hingga Krisis
Jika ditelusuri lebih jauh, masih banyak faktor lain yang ditengarai berkontribusi terhadap anjloknya partisipasi pemilih. Antara lain karena desain Penyelenggaraan Pilkada berdekatan waktunya dengan Pemilu Nasional (Pemilu Presiden dan Wakil Presiden maupun Pemilu Legislatif Februari 2024). Serta singkatnya durasi kampanye Pilkada Serentak 2024 (25 September – November 2024). Sehingga membuat para kandidat, tim kampanye dan partai pengusung dan pendukung kurang leluasa melakukan kampanye secara maksimal.
Terdapatnya sekitar 194 ribu ribu pemilih yang bere-KTP DKI namun tidak berdomisili di Jakarta. Pemilih kategori ini sebenarnya mempunyai hak pilih. Namun berpotensi tidak memberikan hak suaranya di Pilgub DKI 2024 dengan berbagai alasan. Seperti geografis, administratif, teknis, politis, psikologis, cuaca, dan lain sebagainya. Yang agak menonjol adalah dipicu karena absennya Anies menjadi Cagub di Pilgub DKI 2024. Padahal Anies mempunyai pasar politik signifikan. Hal ini berdampak pemilih yang berdomisili di seputar Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek) enggan ke Jakarta untuk menyalurkan hak pilihnya.
Faktor lainnya adalah banyaknya surat pemberitahuan memilih (Form-C6/Pemberitahuan-KWK) tidak sampai ke pemilih, karena pemilih tidak lagi berdomisili sesuai dengan e-KTP, tidak sedang berada di rumah, meninggal dunia dan sebagainya. Selain itu, sosialisasi yang dilaksanakan oleh Penyelenggara Pilgub DKI ditengarai kurang menyasar langsung dan efektif menyasar pemilih kritis, apatis, permisif serta pemilih milenial pada Pilgub DKI 2024. Padahal pemilih milenial untuk kategori generasi Z (berumur berkisar 17-39 persen) mencapai lebih 50 persen
Dampak Anjloknya Partisipasi Pemilih
Anjloknya partisipasi pemilih di Pilgub DKI 2024, sedikit banyak mencoreng keberhasilan Pilgub DKI 2024 yang sudah berlangsung relatif Luber, Jurdil, Aman, Damai dan Kondusif. Lebih jauh lagi, defisit partisipasi pemilih berpotensi mencederai dan akan menjadi catatan sejarah kelam pada gelaran demokrasi elektoral, khususnya Pilgub DKI 2024 dan dampak psiko politiknya bisa berkepanjangan.
Pada satu sisi, rendahnya partisipasi pemilih di Pilgub DKI 2024 berdampak pada menurunnya citra (branding) serta tingkat kepercayaan publik terhadap Penyelenggara Pilgub, Parpol Politik Peserta Pilgub DKI 2024 maupun pada Pemilu/Pemilihan ke depan. Serta berdampak terhadap legitimasi proses Pilgub DKI, dan legitimasi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI terpilih periode 2024-2029. Bagaimanapun Gubernur dan Wakil Gubernur DKI terpilih, mempunyai beban politik tersendiri karena terpilih dengan tingkat partisipasi rendah.
Pada sisi lain, anjloknya partisipasi pemilih sempat menimbulkan reaksi keras dari Paslon Cagub dan Cawagub DKI yang kalah suara dalam perhitungan suara. Bahkan sempat ‘mengancam’ akan melakukan gugatan hukum ke Mahkamah Konstitusi (MK). Beruntung urung direalisasikan karena menurut Wakil Ketua Umum Partai Golkar Idrus Marham, adanya instruksi dari Presiden/Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Langkah RIDO yang urung menggugat ke MK tersebut sekaligus melempangkan tradisi Pilgub DKI sebelumnya dimana tidak terdapat Cagub dan Cawagub DKI yang kalah lalu menggugat ke MK.
Bagi Cagub dan Cawagub DKI terpilih, rendahnya partispasi pemilih akan menjadi beban psikologi politik tersendiri saat menjalankan roda kepemimpinannya. Meskipun secara faktual atau praktikal, tingkat partisipasi pemilih di Pilkada, pada dasarnya tidak secara otomatis atau berkolerasi positif dengan kinerja atau prestasi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, terpilih.
Sebab bisa saja, suatu Pilkada dengan tingkat partisipasi pemilihnya tinggi, tetapi kinerja Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilihnya, tidak memuaskan publik. Bahkan tidak sedikit yang buruk karena terjerembab dalam praktik penyalahgunaan kekuasaan atau korupsi. Sebaliknya, bisa saja tingkat partisipasi pemilihnya sedang atau malah rendah. Namun kinerja Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilihnya, cukup memuaskan publik atau masyarakatnya.
Evaluasi, Riset dan Rebranding
Dalam perspektif teori mandat dan peraturan perundangan, khususnya UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu dan UU No. 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, penyelenggaraan Pilkada atau Pilgub DKI menjadi tanggungjawab KPU dan Bawaslu DKI. Pemberian mandat dan amanat dari UU tersebut diperkuat dengan dana hibah dana/anggaran dari Pemprov DKI mencapai sekitar satu triliun untuk KPU DKI dan Bawaslu DKI Jakarta.
Meskipun demikian, tidak rasional dan tidak proporsional jika anjloknya partisipasi pemilih, sepenuhnya dialamatkan kepada KPU DKI dan Bawaslu DKI. Sebab, kedua institusi demokrasi ini sudah melakukan tugasnya cukup maksimal, khususnya terkait sosialisasi pemilih dengan melibatkan banyak pihak, terutama kalangan penggiat demokrasi. Selain itu, jika dicermati dari sisi peraturan perundangan, tanggung jawab Penyelenggara Pilkada sesungguhnya lebih kepada program sosialisasi Pilkada. Bukan pada tinggi, sedang ataupun rendahnya partisipasi pemilih.
Dengan mempertimbangkan berbagai faktor dan kompleksitas tersebut, diperlukan evaluasi komprehensif dan riset dengan metodologi ilmiah atas anjloknya partisipasi pemilih di Pilgub DKI. Evaluasi dan riset tersebut bisa dilakukan oleh Penyelenggara Pilgub DKI ataupun kalangan kampus atau universitas maupun kolaborasi antara Penyelenggara Pilgub DKI dengan kalangan kampus atau universitas. Hal ini harus dilakukan, untuk merumuskan kebijakan atau program berkaitan dengan pemulihan partisipasi pemilih pada Pemilu atau Pemilihan ke depan, khususnya pada Pilgub DKI 2024. Selain bentuk akuntabilitas Penyelenggara Pilgub DKI terhadap publik serta dana besar yang sudah digelontorkan kepadanya.
Saat bersamaan, sebagai dampak dari rendahnya tingkat partisipasi pemilih di Pilgub DKI 2024, terdapat kebutuhan jangka pendek untuk memperbaiki citra berbagai institusi demokrasi, khususnya KPU DKI dan Bawaslu DKI. Dengan cara melakukan kerja-kerja profesional terkait kepemiluan atau kepilkadaan paska Pilgub DKI 2024, khususnya pemulihan kembali citra (rebranding), baik melalui media konvensional maupun dan terutama media digital. Jika tidak segera melakukan rebranding, maka isu isu atau narasi seputar anjloknya partisipasi pemilih akan menjadi bola liar yang berpotensi mendeskreditkan dan mendelegitimasi banyak pihak, khususnya Penyelenggara Pilgub DKI. *