
Jakarta, RIC – Belum genap seratus hari Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto sudah menghadapi masalah keuangan dan moneter yang harus segera diselesaikan.
Kendati masalah tersebut merupakan warisan presiden sebelumnya namun harus segera diatasi seperti masalah korupsi, membayar cicilan sekaligus bunga utang dan kekeringan likuiditas.
Terkait kondisi di atas, Juru Bicara dan Juru Runding Collateral House Amir Hamzah menyatakan, kekeringan likuiditas sudah terasa sejak 2021. Kini pemerintahan Prabowo harus menghadapi defisit Rp401 Trilyun.
Menurut Amir, tanda – tanda kekeringan likuiditas itu sebenarnya sudah diketahui Presiden Prabowo beberapa saat sebelum ia berkunjung ke luar negeri. Itulah sebabnya, sebelum berangkat Prabowo memanggil Gubernur BI untuk mendapatkan informasi tentang realitas kekeringan likuidasi ini.
Oleh karena itu dalam kunjungan ke luar negeri itu, terutama Cina, AS dan Inggris, Prabowo berusaha menyakinkan mereka untuk mendapatkan bantuan dan kesedian mereka melakukan investasi di Indonesia.
Namun sebagaimana diketahui bahwa kondisi kekeringan likuiditas ini bukan saja melanda Indonesia tetapi juga negara – negara yang dikunjungi Prabowo.
Memang dinamika politik dan keamanan yang sedang berlangsung di Eropa khususnya di Ukraina dan Rusia, serta perkembangan – perkembangan di Timur Tengah yang bertalian dengan jatuhnya Presiden Suriah Bashar Al Assad menyebabkan timbulnya juga guncangan terhadap strategi keuangan dan moneter yang selama ini dikembangkan IMF.
Bagi mereka yang paham, akan tahu bahwa apabila pemerintah sedang mengalami kekeringan likuiditas maks hampir dapat dipastikan bahwa bank sentral juga sedang mengalami defisit devisa.
Secara tradisional, apabila pemerintah sedang mengalami kekeringan likuiditas maka pemerintah bisa meminta bank sentral untuk mencetak uang. Namun untuk mencetak uang bank sentral harus mendapat jaminan dari Bank Dunia (World Bank).
“Jaminan ini lazimnya disebut collateral for printing money,” kata Amir yang juga Pengamat Intelijen dan Geopolitik ini, Minggu (15/12/2024).
Tragisnya pada tahun 2021, BI pernah menalangi utang pemerintah padahal sikap ini bertentangan dengan aturan Bank Dunia dan karena itu maka BI sampai saat ini sedang menjalani sanksi dari Bank Dunia sehingga institusi tersebut sudah pasti tidak memberikan jaminan kepada BI untuk mencetak uang.
Di lain sisi, masih menurut Amir, berbagai kemelut keuangan dan moneter yang selama ini dialami Indonesia diakibatkan oleh ketergantungan yang terlalu ekstrim kepada Bank Dunia dan IMF.
“Karena dengan tidak bisanya Bank Dunia menerbitkan jaminan dimaksud maka sudah tiba saat ini bagi Presiden Prabowo untuk mengkaji ulang guna memperlonggar ketergantungan kepada IMF dan Bank Dunia,” pinta Amir.
Sekalipun Bank Dunia tidak dapat memberikan jaminan, lanjut Amir, pemerintah Indonesia bisa meminta BI untuk mencetak uang, asal saja Presiden Prabowo menunjukkan kearifannya untuk memaklumkan kepada publik dan seluruh instansi pemerintah termasuk MPR, DPR dan DPD bahwa pemerintah akan memanfaatkan rekening GCA Nomor 103.357.777.
Sesuai dengan ketentuannya, kata Amir, penggunaan nomor rekening GCA ini dapat ditujukan untuk pertama, back up issued bank instrument. Kedua, foreign exchange IDR, Euro dan USD. Ketiga, Collateral for Printing Money. Keempat, defisit devisa settlement.
“Saya kira inilah peluang yang dapat dimanfaatkan Presiden Prabowo asal saja beliau memperlihatkan kearifannya untuk menetapkan maklumat tentang penggunaan dana GCA ini. Dan inilah salah satu cara untuk meminimalisasi tantangan yang akan muncul pada pelaksanaan APBN 2025,” pungkas Amir. *man