
Oleh: Achmad Fachrudin, Dewan Pakar Kahmi Jaya
BARANGKALI tidak salah jika Francis Fukuyama dalam bukunya “Identity: The Demand for Dignity and The Politics Resentmen” (2018) berceloteh, abad 21 ditandai dengan fenomena politik identitas. Menurut Ubed S. Abdillah, politik identitas adalah sebuah alat politik suatu kelompok seperti etnis, suku, budaya, agama atau yang lainnya untuk tujuan tertentu. Misalnya sebagai bentuk perlawanan atau sebagai alat untuk menunjukan jati diri suatu kelompok tersebut. Fenomena politik identitas dengan berbagai variannya acapkali muncul, terutama pada setiap kali digelar demokrasi elektoral. Seperti Pemilu Serentak atau Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daereah (Pilkada).
Politik identitas sendiri, menurut Zainal Abidin Bagir dalam “Pluralisme Kewarganegaraan, Arah Baru Politik Keragaman di Indonesia”, bisa bersifat positif maupun negatif. Bersifat positif berarti menjadi dorongan untuk mengakui dan mengakomodasi adanya perbedaan, bahkan sampai pada tingkat mengakui predikat keistimewaan suatu daerah terhadap daerah lain karena alasan yang dapat dipahami secara historis dan logis. Bersifat negatif ketika terjadi diskriminasi antar kelompok satu dengan yang lain, misalnya dominasi mayoritas atas minoritas. Dominasi bisa lahir dari perjuangan kelompok tersebut, dan lebih berbahaya apabila dilegitimasi oleh negara. Negara bersifat mengatasi setiap kelompok dengan segala kebutuhan dan kepentingannya serta mengatur dan membuat regulasi untuk menciptakan suatu harmoni.
Selain itu, identitas sejatinya adalah sudah build in, inheren dan alamiah dengan setiap diri manusia. Bahkan dalam Islam, identitas merupakan fitrah manusia yang dianugerahkan oleh Allah SWT. Sebab manusia pasti sejak lahir ditakdirkan akan memiliki suku bangsa, bahasa dan agama. Dengan demikian, memisahkan bahasa, etnis dan bahkan agama pada manusia, termasuk dalam kontek politik merupakan pengingkaran terhadap eksistensi manusia. Oleh karena itu, langkah yang tepat adalah memahami, menyikapi, menerapkan serta tidak kalah pentingnya mengelola politik identitas secara cerdas.
Dinamika dan Turbulensi
Sepanjang sejarah politik Indoneia, praktik politik identitas acap kali berlangsung secara intens dan dinamis dengan dua wajah secara simultan: positif dan negatif. Secara positif, politik identitas berkontribusi signifikan dalam pembentukan identitas ke-Indonesiaan dan ke-Jakartaan. Antropolog Amerika Sertikat Clifford Geerzt misalnya berpendapat, agama, keturunan, bahasa, ras, adat dan ikatan kedaerahan merupakan faktor-faktor yang mengikat masyarakat dalam suatu kesatuan sosial.
Kemudian George Mc Turnan Kahin (1952) menulis disertasi tentang Nasionalisme dan Revolusi Indonesia. Bahkan Kahin tidak ragu menyatakan, agama Islam bukan hanya suatu ikatan biasa; ini benar-benar merupakan simbol kelompok (in group) untuk melawan pengganggu asing dan penindas agama yang berbeda.
Aktualisasi politik identitas mengambil ragam bentuk. Contohnya Pendiri Nahdlatul Ulama KH. Hasyim Asyari mendeklarasikan Resolusi Jihad (bisa dimaknai sebagai aktualisasi politik identitas) di Surabaya pada 21- 22 Oktober 1945. Para ulama tersebut kemudian mendeklarasikan perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia sebagai perang jihad.
Di Surabaya, pada pertempuran 10 November 1945, Bung Tomo melalui radio memberikan komando kepada pejuang melawan tentara sekutu dengan diselingi pekikan Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Jauh sebelumnya, Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 yang dicetuskan oleh para pemuda pemudi Indonesia dengan spirit keragaman suku dan agama sebagai hasil perundingan dari Kongres Pemuda I dan II diarsiteki oleh Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) yang didirikan pada tahun 1925.
Di masa Orde Lama, politik aliran (identitas) mengilhami kemunculan lima aliran pemikiran politik. Yakni: Nasionalisme Radikal, Tradisionalisme Jawa, Islam, Sosialisme demokratis, dan Komunisme. Di masa Orde Baru, terkecuali Golkar, baik Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dapat dikatakan sebagai partai politik yang pendiriannya pada 1973 dipengaruhi politik aliran/politik identitas.
Pada era reformasi, lahirnya sistem multi partai ditandai dengan lahirnya sejumlah partai politik berbasis agama/aliran. Diantaranya Partai Bulan Bintang yang dianggap sebagai representasi dari Partai Masyumi, Partai Kebangkitan Bangsa dari rahim NU, Partai Amanat Nasional dari rahim Muhammadiyah, Partai Keadilan dari kalangan aktivis dakwah dan lain-lain. Dari rahim Kristiani, lahir Partai Damai Sejahtera. Dalam kontek Jakarta yang dihuni oleh masyarakatnya yang pluralistik, politik identitas berperan menjadi penyeimbang, kohesi dan integrasi sosial.
Selain positif, penggunaan politik identitas tidak jarang berdampak negatif seperti memicu disintegritas, friksi, polarisasi, konflik dan sebagainya. Hal tersebut sudah terjadi sejak masa pra kemerdekaan, paska kemerdekaan, Orde Baru hingga era reformasi. Diantara catatan penting dalam sejarah adalah saat perdebatan di Majelis Konstituante mengenai dasar negara antara kelompok Islam dan kelompok nasionalis terjadi pada tahun 1956-1959. Perdebatan ini berujung pada konflik ideologis dan tidak tercapainya konsensus nasional.
Di masa Orde Baru dan Orde Reformasi, politik identitas melahirkan sejumlah konflik dalam berbagai aspek kehidupan. Hal yang sama terjadi di Jakarta. Prof. Dr. Mayling Oey dari Universitas Indonesia (UI) dalam suatu penelitiannya menyebutkan, kekerasan antar etnis yang pernah terjadi di Jakarta biasanya melibatkan sesama pendatang suku-suku keras dan panas maupun antara kelompok pendatang tertentu dengan Kaum Betawi. Di lain pihak, setiap benturan antar-etnis pendatang kelas bawah hampir selalu disebabkan karena perebutan kapling pekerjaan. Selain juga karena adanya ketimpangan sosial yang ada di tengah masyarakat dapat menimbulkan konflik.
Dalam kontek demokrasi lokal, konflik yang paling terkenal karena dipicu sentimen agama terjadi pada Pilgub DKI 2017. Sehingga menimbulkan friksi, polarisasi dan konflik masyarakat Jakarta. Pemicunya adalah pernyataan Cagub DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tentang Surat Al-Maidah ayat 51 saat berkunjung ke Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu pada 27 September 2016. Pernyataan tersebut kemudian menimbulkan reaksi keras sebagian umat Islam. Ahok dianggap melakukan politik permusuhan. Bahkan Ahok diputus pengadilan karena terbukti telah melakukan penistaan dan penodaan agama dan dikenakan hukuman penjara 2 tahun oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Selasa (9/5/2017).
Realitas Pilgub DKI 2024
Pada Pilgub DKI 2024, politik identitas jika merujuk definisi yang disampaikan oleh para ahli, sebenarnya kini dilakukan oleh para Cagub dan Cawagub DKI. Hanya saja bedanya wacana dan isu yang dilemparkan para Cagub dan Cawagub DKI lebih kontekstual untuk menjawab problem yang ada. Oleh karena itu, apa yang dilakukan para Cagub DKI tersebut sejauh ini tidak bertentangan UU No. 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota serta PKPU No. 13 Tahun 2024 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Serta Walikota dan Wakil Walikota. Karena pada UU dan PKPU No. 13 yang dilarang pada kampanye adalah menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon dan/atau peserta Pilkada/Pilgub serta menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat.
Contoh penggunaan politik identitas yang tidak dilarang peraturan perundangan dilakukan oleh Pasangan Cagub dan Cawagub DKI No. Urut 01 Ridwan Kamil (RK) dan Suswono (Rido). Ketika mendaftar ke KPU DKI Rabu (28/8/2024), keduanya menggunakan busana dengan sentuhan budaya Betawi. Bukan hanya RIDO, pun demikian para pendukungnya, banyak yang menggunakan pakaian kasual khas Betawi yang dikenal sebagai Baju Sadariah. Busana tersebut terdiri dari kombinasi kemeja putih dan celana komprang longgar bercorak batik. Seperti Baju Sadariah pada umumnya, penampilan Ridwan-Suswono turut dilengkapi peci dan cukin atau kain yang menggantung di leher seperti syal.
Berbeda dengan Paslon No. Urut 01 dan 03, Cagub dan Cawagub DKI Dharma Pongrekun-Kun Wardana (Dharma-Kun) yang beroleh nomor undian nomor urut 02, tidak menggunakan simbol-simbol Betawi melainkan dengan menggunakan baju hitam dengan tulisan oranye berbunyi “Jakarta Aman”. Alasannya karena baju hitam dan warna orange melambangkan Jakmania yang merupakan kesebelasan sepakbola kebanggaan masyarakat Jakarta.
Simbol Betawi juga digunakan oleh Paslon No. 03 Pram-Doel saat pendaftaran sebagai Cagub dan Cawagub DKI ke KPU DKI, menggunakan peci merah. Kala itu, Rano Karno atau Doel dengan penuh percaya diri mengklaim bahwa yang dilakukannya tersebut melambangkan sejarah Betawi dan perlawanan terhadap kolonial yang dilakukan oleh para jawara pada masa itu. Selain peci merah, pada acara debat perdana Cagub dan Cawagub DKI Minggu lama (6/8/2024) Pram-Doel juga menggunakan baju pangsi lengkap dengan selendang bercorak batik Betawi.
Bukan hanya simbol-simbol budaya dan adat istiadat, ketiga Paslon Gubernur dan Cawagub DKI tersebut “menjual” isu agama dengan varian narasi berbeda. Cagub DKI No. Urut 01 misalnya, berkampanye akan menerapkan program “Magrib Mengaji” yang sudah dirintis oleh gubernur sebelumnya Anies Baswedan. RK juga akan memperjuangkan kemudahan pada pendirian rumah ibadah dan aktualisasi kegiatan beragama Konghucu melalui kegiatan Cap Go Meh, membantu pembangunan gereja dan sebagainya.
Cagub dan Cawagub DKI Nomor Urut 2, Kun Wardana akan melibatkan peran serta tokoh agama untuk menciptakan keamanan di Jakarta. Menurut Kun, keterlibatan tokoh agama dinilai penting dalam membangun adab bagi warga Jakarta. Itulah sebabnya, visi Cagub dan Cawagub No. 2 adalah membangun Jakarta Aman, yakni aman dalam beribadah dan hal yang membentuk aman ini adalah adab. Kata ‘aman’ dan ‘adab’ yang dipilih Kun sebagai narasi dari visinya berasal dari Bahasa Arab dan menyimbulkan narasi keislamanan. Meski Cagub DKI Dharma Pongrekun sendiri beragama non muslim.
Sementara Cagub DKI Pramono Anung menegaskan tidak mau membawa-bawa agama dalam kampanye. Bagi mantan Mensesneg tersebut, Jakarta harus terhindar dari segala bentuk sikap ataupun aksi-aksi tidak menghargai perbedaan, baik dari segi agama, etnis, atau lainnya (intoleran). Karena toleransi – toleransi beragama tertuang dalam Preambul UUD 1945. Namun Pram berjanji untuk melanjutkan program bantuan operasional tempat ibadah (BOTI) demi merangkul umat beragama jika terpilih pada Pilgub DKI 2024. Disini Pram boleh dikatakan menerapkan strategi politik identitas namun dengan pendekatan yang lebih substansial melalui program kerja.
Catatan Konklusif
Saat Pilgub DKI 2024, para kontestan dan kandidat diberi kebebasan untuk mengekspresikan wacana, narasi atau janji dalam kampanye, termasuk yang beririsan dengan politik identitas. Terlebih demokrasi Indonesia masuk dalam kategori teodemokrasi yang menjadikan Tuhan Yang Maha Kuasa (sebagaimana tertera pada urutan pertama dari lima sila Pancasila) sebagai sumber nilai dan bahkan perilaku.
Justeru jika kita ‘mengharamkan’ politik identitas pada demokrasi elektoral, bukan hanya bisa dianggap bertabrakan dengan sila-sila yang terdapat pada Pancasila, juga bisa dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi karena demokrasi sejatinya membuka peluang seluas mungkin munculnya berbagai pandangan dan pendapat, termasuk tentang politik identitas. Yang penting mengindahkan peraturan perundangan dan rambu-rambu (karangan) kampanye.
Lagi pula, dalam praktiknya secara sadar atau tidak sadar, suka atau tidak suka, para Cagub dan Cawagub DKI 2024, sudah menjadikan politik identitas sebagai isu kampanye. Bahkan para kandidat tidak sungkan untuk sowan dan minta restu dari tokoh-tokoh agama, khususnya para ulama dan kiai. Dan ulama adalah simbol agama. Sowan ke ulama berarti juga memanfaatkan simbol agama untuk kepentingan politik. Jika ingin melepaskan simbol dari politik, kenapa harus menggunakan simbol-simbol agama dan etnis serta datang kepada ulama untuk sowan?
Terlepas dari itu, pada Pilgub DKI 2024 yang terpenting justeru terjadi fenomena menarik dan positif. Yakni: terjadi pergeseran dalam penafsiran dan pensikapan pada hampir semua kandidat terhadap politik identitas yang pada Pilkada atau Pemilu sebelumnya tidak jarang cenderung dianggap negatif, pejoratif, streotif dan stigmatif lalu bergeser atau bertransformasi kepada pemaknaan dan pensikapan yang cenderung positif, proporsional dan rasional.
Dengan adanya transformasi tersebut, bukan saja politik identitas tidak lagi menjadi suatu isu yang menyeramkan dan menakutkan serta sumber konflik destruktif. Tetapi sudah makin rasional dan proporsional, serta telah diterima sebagai bagian dari proses demokrasi. Sehingga muaranya diharapkan politik identitas menjadi faktor integrasi masyarakat Jakarta serta mampu memperkuat substansi demokrasi elektoral. Jika sudah demikian, maka siapapun yang terpilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI pada Pilgub DKI 2024, diharapkan dapat mengolah dan menggunakan politik identitas secara tepat untuk lebih memaknai visi dan misi pembangunan Jakarta di era Jakarta Kota Global secara lebih komprehensif, holistik dan integral. ***