
Pengamat Kebijakan Publik Amir Hamzah. *dok/ric
Jakarta, RIC – Pandangan atau pendapat Wakil Ketua Komisi A DPRD DKI Jakarta Inggard Joshua dan anggota Komisi A DPRD DKI Jakarta William Aditya Sarana tentang pengisian jabatan Eselon II harus mengutamakan pegawai DKI Jakarta sebagaimana diwartakan realitasindonrsia.com, Selasa (30/7/2024), masuk akal dan sudah merupakan sesuatu yang seharusnya dan semestinya.
Pengisian jabatan kosong oleh pejabat dari luar DKI Jakarta yang selama ini datang dari pegawai pusat sama saja merendahkan bahkan menghina pegawai DKI Jakarta yang memulai karier ďari bawah di DKI Jakarta.
Hal ini ditegaskan Pengamat Kebijakan Publik Amir Hamzah, kepada realitasindonesia.com, Rabu (31/7/2024), sehubungan banyak pejabat luar mengisi jabatan penting Eselon II di DKI Jakarta dan saat ini sedang berlangsung proses pengisian jabatan Eselon II yang kosong.
Jabatan yang diisi orang luar saat ini antara lain: Badan Pendapat Daerah (Bapenda), Biro Hukum, Inspektorat, Badan Pengelolaan Keuangan Daerah dan Sekda DKI Jakarta.
Bagi Amir, menggunakan pejabat dari luar sama saja menganggap sekaligus merendahkan bahkan boleh dikatakan menghina pejabat DKI Jakarta karena dinilai tidak mampu. Padahal banyak pejabat DKI Jakarta selain sudah berkarier di Jakarta sekolahnya juga tidak kaleng kaleng. Banyak tamatan luar negeri .
Mereka disekolahkan ke luar negeri oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. “Gimana masuk akalnya, Pemprov sudah membina mereka, sudah berkarier, sudah disekolahkan. Biaya miliaran dikeluarkan melalui Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia untuk pembinaan pegawai tetapi anehnya orang luar mengisi jabatan kosong,” ujar Amir.
Apalagi, lanjut Amir, dalam UU No 5 tahun 2014 tentang ASN dan PP No. 11 tahun 2017 tentang Manajemen ASN sudah jelas. Dalam peraturan ini ditegaskan Gubernur adalah Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) dan Sekda adalah pejabat yang berwewenang.
Sebagai PPK maka kewajiban gubernur adalah membina ASN di lembaga atau institusinya dan bukan membina pegawai luar. Karena itu mengambil pejabat dari luar sama saja melanggar aturan. Juga Sekda sebagai pejabat berwewenang maka dia mengusulkan pejabat yang dilingkungannya untuk diangkat, dipindahkan atau diberhentikan dan bukan mengusulkan pejabat dari luar untuk menduduki posisi tertentu.
Tidak hanya itu, untuk menduduki jabatan tertentu, masih menurut Amir, tidak hanya butuh pintar tapi pengalaman kerja. Pejabat DKI Jakarta sudah melewati proses itu di lngkungan kerja Pemprov DKI Jakarta. Pejabat DKI Jakarta sudah bekerja dan telah berinteraksi dengan lingkungan kerja dan masyarakat Jakarta sehingga paham dibandingkan pejabat lain dari luar.
Pejabat dari luar, sambung Amir, perlu waktu untuk mengenal lingkungan dan masyarakat Jakarta dan itu tidak mudah dan tidak gampang. Justru pejabat dari luar bisa melahirkan konflik secara diam – diam dengan pejabat internal. Kondisi ini yang harus dihindari dengan tidak mengangkat pejabat dari luar.
Kalau pejabat dari luar masuk karena tes atau seleksi, Amir mengatakan, aturan sudah jelas. Gubernur membina ASN di lingkungannya bukan dari luar. Kalaupun ikut tes, misalnya, kriteria harus jelas bukan sekadar nilai tapi bagaimana perjalanan kariernya.
Karier di luar jangan dibawa ke DKI Jakarta sebagai ukuran karena kondisi dan situasi berbeda. Karier di luar jangan cari jabatan di DKI Jakarta. ‘Tolak ukurnya harus jelas. Susahnya, kalau unsur politik masuk membuat ukuran makin kabur dan kian gelap,” kata Amir.
Kalau aturan membolehkan pejabat luar bisa ikut seleksi, menurut Amir, aturan itu cuma alat bukan tujuan. Kalau aturan tidak membangun, tidak membuat kondisi kerja lebih baik kenapa harus dipakai. Menjadi lebih aneh lagi, kalau aturan itu sengaja dibuat dengan muatan politik dan tujuan tertentu. (as)