
Jakarta, RIC – Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas pelaksanaan APBD DKI Jakarta Tahun Anggaran (TA) 2023 hingga menjelang akhir Juli belum juga disampaikan. Biasanya LHP BPK disampaikan dalam sidang paripurna di DPRD DKI pada Minggu Pertama Juni.
Terbaru, dikabarkan LHP BPK akan disampaikan pada 25 Juli ini. Artinya, akan disampaikan pada Kamis nanti. Sebelumnya dijadwalkan pada 10 Juli. Namun, informasi terbarukan, Sidang Paripurna DPRD dengan agenda penyampaian LHP BPK bakal dilaksanakan pada Selasa (30/7/2024).
Menilik beberapa kali perubahan jadwal sidang paripurna khusus tersebut tentu menarik ditelisik.
Menurut Pengamat Kebijakan Publik Amir Hamzah, terkait perubahan sidang paripurna khusus untuk penyampaian LHP BPK bukan tanpa tarik ulur antara eksekutif, legislatif dan BPK.
“Tarik ulur ini untuk menegosiasikan penilaian atas LHP BPK yang semula Pemprov DKI Jakarta mendapati penilaian disclaimer,” ungkap Amir, Rabu (24/7/2024).
Informasi yang berkembang, lanjut Amir, ada upaya tekanan dari oknum konglomerat dan pejabat agar LHP BPK mendapat penilaian Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Upaya ini terkait denda pengelolaan aset milik Pemprov DKI Jakarta yang terbilang cukup besar.
“Dengan perubahan nilai LHP BPK dari disclaimer menjadi WTP guna menghindari rekomendasi BPK soal aset dan pelaksanaan APBD TA 2023 yang merugikan keuangan negara. Jika ada rekomendasi BPK terkait pengelolaan aset tersebut, maka Pemprov DKI akan melaksanakan rekomendasi BPK sebagai alas hukum menagih tunggakan tersebut segera diselesaikan sesuai peraturan. Jika WTP maka kemungkinan besar persoalan denda aset bisa dinegosiasikan. Hal ini hanya akan menguntukan segelintir oknum pejabat saja,” beber Amir.
Masalah aset ini juga berkaitan dengan aset yang dikelola BUMD, semisal lahan di Jalan Thamrin No 10 yang kepemilikan oleh Bank DKI masih diragukan keabsahannya karena ada pihak ketiga yang sedang melakukan tindakan hukum.
Hal ini juga berkaitan aset yang dikelola PAM Jaya yang sudah lama dan dikelola pihak lain secara melanggar aturan.
Internal DPRD DKI
Tidak hanya itu saja, masih menurut Amir, tarik ulur ini juga ada kemungkinan berkait sejumlah dugaan kasus di DPRD DKI sendiri.
“Semisal soal program kunjungan kerja, reses, beberapa oknum anggota DPRD yang mengangkangi proyek – proyek dan program sosialisasi Perda atau sosper,” terang Amir.
Untuk program sosper, informasi yang berhembus, sudah ada upaya menekan Kejaksaan agar dugaan korupsi dalam program sosper tidak ditindaklanjuti.
Ditambah dugaan penjualan beberapa pulau di Kepulauan Seribu yang melibatkan oknum konglomerat dan tokoh politik nasional.
Dalam kaitan itu dukungan Nasdem terhadap pencaguban Anies Baswedan juga berkaitan dengan upaya untuk menyelamatkan diri tokoh politiknya yang berkaitan dengan pelanggaran aturan dalam proses dan prosedur pembelian pulau di Kepulauan Seribu dan penyimpangan ijin pembangunan gedung di Jalan Cik Ditiro, Cikini, Jakarta Pusat.
“Beberapa hal inilah yang menjadikan tarik ulur waktu penyampaian LHP BPK masih berlangsung dan siapa yang akan diuntungkan,” pungkas Amir. * man