
BELAKANGAN ramai pemberitaan pemecatan ratusan guru honorer di DKI Jakarta. Ada yang pro ada yang kontra atas pemecatan guru honorer. Itu wajar beda pendapat.
Bagi mereka yang pro, jelas karena ada aturan. Dan tentu pemerintah daerah memecat guru honorer juga punya dasar pijak, aturan. Dasar pijak jelas, salah satunya, pengangkatan guru honorer bukan oleh Dinas Pendidikan.
Pengangkatan guru honorer selama ini dilakukan sekolah yang bersangkutan atau kepala sekolah. Karena itu pemecatan sudah sesuai aturan dan sebagai penataan dan perapian adiministrasi.
Bagi mereka kontra tentu tidak begitu saja pandangannya. Tidak adil. Pertimbangan kemanusiaan pun harus menjadi dasar pemecatan. Para guru honorer jelas telah berjasa selama ini sehingga tidak bisa diabaikan begitu saja.
Semua alasan rasional sesuai cara pandang masing – masing. Pertanyaannya, ketika guru honorer diangkat apa mereka yang para guru salah? Apa dinas pendidikan tidak tahu? Kalau dinas pendidikan tidak tahu, lantas bagaimana pengawasan sekian tahun? Apa sekolah atau kepala sekolah tidak pernah lapor ke dinas?
Selain itu, bagaimana honor guru – guru selama ini. Yang pasti honor mereka dibayar. Kalau dibayar, anggaran darimana? Dan apa dinas tidak tahu anggarannya?
Atas dasar itu maka dinas pun tidak bisa begitu saja menyalahkan sekolah atau kepala sekolah yamg mengangkat guru honorer. Pelajari dulu secara baik, proses pengangkatan guru honorer.
Rasanya dan kalau mau jujur, kesalahan bukan di guru honorer tapi bagaimana dinas pendidikan dan kepala sekolah lakukan selama ini sampai guru honorer diangkat.
Karena itu tidak bisa begitu saja aturan – aturan yang ada dipakai sebagai dasar untuk pecat gùru honorer. Aturan hanya alat. Aturan itu cuma media bukan tujuan.
Tujuan utama adalah proses pendidikan, belajar mengajar berjalan baik. Dan itu sudah terjadi selama ini. Karena itu kalau aturan mengorbankan guru honorer untuk apa gunakan aturan itu sebagai dasar pemecatan guru honorer yang sudah berjasa selama ini.
Bagaimana pun kepentingan proses belajar harus jadi perhatian utama bukan aturan. Kesejahteraan guru dalam hal ini nasib guru honorer jadi pertimbangan utama bukan aturan.
Untuk itu, solusi yang baik adalah guru honorer tetap mengajar dan pada saatnya diangkat jadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Selanjutnya, dalam kurun waktu tertentu tidak perlu penerimaan gùru. Gunakan guru honorer.
Dengan demikian, langkah yang diambil pun bijak. Sekali lagi jasa para guru honorer jangan diabaikan begitu saja. Kepentingan dan kesejahteraan guru lebih utama dari alasan aturan ada. Prinsip “salus populi suprema lex esto” harus jadi pertimbangan utama. *andreas piatu