Achmad Fachrudin, Dosen Universitas PTIQ Jakarta. *Ist
Oleh Achmad Fachrudin, Dosen Universitas PTIQ Jakarta
MASJID merupakan institusi tertua dalam peradaban Islam. Sejak masa Rasulullah SAW, masjid memainkan fungsi substansial dan komprehensif guna menjawab berbagai problem umat yang laten maupun manifes. Dalam aktualisasi fungsinya, masjid mengalami pasang surut berupa dinamika dan fluktualisasi. Dalam kasus Indonesia, banyak masjid lebih berfungsi secara ritualistik. Bahkan hanya sekadar tempat melaksanakan ibadah murni (mahdhah) seperti salat rawatib dan salat Jum’at.
Menurut data terbaru dari Kementerian Agama pada September 2025, jumlah masjid di Indonesia adalah sekitar 315.186 unit, berdasarkan Sistem Informasi Masjid (Simas). Angka ini sedikit berbeda dari data Dewan Masjid Indonesia (DMI) yang menyebutkan angka lebih tinggi sekitar 800.000 masjid, karena DMI memasukkan data masjid yang tidak terdata resmi.
Dari jumlah total tersebut, Jawa Barat tercatat memiliki jumlah masjid terbanyak, dengan angka lebih dari 62 ribu masjid (berdasarkan data 2024). Disusul Jawa Timur di peringkat kedua dengan lebih dari 55 ribu masjid; Jawa Tengah: Di posisi ketiga dengan lebih dari 54 ribu masjid. Sementara di luar Jawa, Sulawesi Selatan merupakan provinsi di luar Pulau Jawa dengan jumlah masjid terbanyak, sekitar 15 ribu.
Dari Ritualistik ke Karismatis
Jika dikaji melalui riset sederhana, terdapat sejumlah tipologi atau karakteristik masjid di Indonesia saat ini. Pertama, Ritualistik–Administratif. Masjid dengan tipologi semacam ini ditandai dengan fungsi masjid menyempit. Masjid tidak hadir sebagai solusi bagi problem aktual jamaah. Ciri utama masjid seperti ini dikelola semata untuk memastikan ibadah rutin dan murni berjalan tertib dan lancar.
Karakteristik kegiatan masjid fokus pada salat lima waktu dan Jum’at. Sangat minim program sosial, pendidikan atau pemberdayaan ekonomi jamaah. Prioritas kerja pengurus masjid mengatur jadwal imam, muazin dan jadwal ceramah. Serta kegiatan terkait pemeliharaan masjid seperti kebersihan, listrik dan sound system. Sementara infak yang dikelola terutama untuk operasional fisik masjid.
Kedua, Fisik–Konstruksionis. Ciri utama masjid ini pengelolaan dana jamaahnya lebih berorientasi pada pembangunan atau proyek fisik seperti renovasi, perluasan, perbaikan arsitektur, marmer, kubah besar, AC, karpet Turki dan lain-lain. Bahkan terkadang program perbaikan fisik masjid terkesan mengada-ada. Sementara program keagamaan dan program sosial hampir tidak ada.
Ketiga, Kekerabatan–Senioritas. Ciri utama masjid ini pengurusnya dipilih berdasarkan kedekatan, kekerabatan, senioritas, atau tradisi, bukan kompetensi. Karakteristik masjid seperti ini biasanya struktur takmir eksklusif dan sulit diperbarui dan minim regenerasi. Sehingga keputusan atau program strategis masjid tanpa berdasarkan musyawarah dan riset kebutuhan jamaah. Kompetensi manajerial atau keuangan tidak menjadi syarat menjadi pengurus masjid. Dampaknya program masjid stagnan, tidak ada inovasi.
Keempat, Karismatik–Ustadz Sentris. Ciri utama masjid semacam ini ustadz atau tokoh tertentu menjadi pusat otoritas masjid. Dampaknya kebijakan sangat dipengaruhi satu figur. Tema kajian mengikuti selera ustadz, bukan peta masalah jamaah. Sementara relasi jamaah menjadi loyalitas personal, bukan loyalitas kelembagaan. Kadang terjadi polarisasi jamaah jika ustadz berbeda aliran. Risiko lain dari masjid dengan karakteristik seperti ini masjid terjebak politik identitas atau konflik aliran.
Tipologi Masjid
Tipologi lainnya adalah filantropi-konsumtif. Ciri utama masjid seperti ini antara lain infak dikelola sekadar menerima–mencatat–menghabiskan. Laporan keuangan sering tidak dipublikasikan ke jamaah secara transparan dan akuntabel. Kalaupun diumumkan terbatas kepada jamaah saat menjelang pelaksanaan shalat Jum’at. Sehingga transparansi dan akuntabilitas pengelolaan anggaran sangat tergantung pada integritas personal pengelola yang ditunjuk. Bukan berbasis sistem atau manajemen rasional.
Karakteristik dari masjid tipologi ini tidak ada perencanaan anggaran jangka panjang. Pemasukan masjid dari infak atau kotak amal digunakan untuk kebersihan, honor imam, listrik dan kegiatan seremonial. Parahnya lagi minim pemberdayaan umat. Seperti beasiswa, bantuan bagi keluarga miskin, pelatihan Usaha Kecil Menengah Koperasi (UMKM) dan sebagainya. Dampak negatifnya dana masjid/umat tidak menjadi instrumen pemberdayaan umat.
Lalu ada tipologi ‘ceramahistik”. Ciri utama dari masjid seperti kegiatannya hanya berupa ceramah yang tidak terstruktur. Dengan tema yang cenderung repetitif atau pengulangan. Seperti akidah dan akhlak secara umum, fiqh dasar, keutamaan amalan dan sebagainya. Tidak ada kurikulum, modul, atau capaian pembelajaran.
Pun demikian dari sisi metode ceramahnya minim interakstif dan penggunaan teknologi. Pada umumnya generasi milenial jarang terlibat pada kegiatan ini. Dampak dari masjid seperti ini institusi keagamaan gagal menjadi pusat pendidikan Islam yang relevan dengan zaman. Apalagi menjadi pusat peradaban Islam. Terlebih di kalangan generasi melek digital.
Selain itu ada juga tipologi Masjid “Netral” (apolitis dalam pengertian keliru). Ciri utamanya untuk menghindari konflik, masjid menjauhi isu-isu kemasyarakatan dan kebangsaan. Isu-isu keagamaan tidak menyentuh persoalan kemiskinan, lingkungan, pendidikan atau digitalisasi. Akibatnya, masjid menjadi ruang steril yang tidak punya arah perubahan sosial. Padahal netral tidak berarti pasif: masjid tetap wajib hadir sebagai kekuatan moral publik.
Akar Masalah
Mengapa pengelolaan masjid cenderung dilakukan tradisional dan ritualistik, bukan substansial serta berorientasi pada pelayanan dan pemberdayaan umat? Terdapat problem struktural dan non struktural. Pada aspek struktural akar masalahnya pada manajemen masjid yang tidak profesional. Masjid sering dikelola berdasarkan kekerabatan dan senioritas, bukan kompetensi. Bahkan ada yang masjid yang seolah diposisikan sebagai “korporasi keluarga”.
Sebagian takmir dipilih “karena orang dalam” (ordal) atau “karena orang lama”. Bukan karena kemampuannya memimpin, mengelola dana, merancang program atau memahami kebutuhan jamaah. Tidak ada sistem perencanaan jangka Panjang. Kemudian dari itu, masjid jarang mempunyai visi-misi tertulis, AD/ART, program tahunan, pengukuran kinerja, standar transparansi keuangan, tidak ada pemetaan kebutuhan jamaah. Padahal, masjid seharusnya memulai dari pertanyaan: apa masalah terbesar jamaah kita? dan bagaimana masjid bisa jadi solusi?
Pada sejumlah masjid, terutama yang dikelola secara tradisional, dengan pengurus masjid diangkat lebih karena faktor kekerabatan dan kedekatan, dan diperkuat dengan adanya tokoh agama, tokoh masyarakat atau ulama yang mempunyai atau diberi otoritas keagamaan dan sekaligus manajerial, berkontribusi mengentalkan status quo dalam pengelolaan masjid. Sehingga berdampak masjid menjadi kurang kreatif dan inovatif dalam melaksanakan programnya dalam melakukan tranformasi sosial umat yang substansial.
Dampak dari kondisi itu, masjid mengalami reduksi fungsi. Ketika masjid hanya menjadi ruang ritual, maka masjid kehilangan daya transformasi sosial. Padahal masalah umat hari ini sangat kompleks: kemiskinan, ketimpangan, konflik sosial, degradasi moral, pendidikan anak, hingga krisis identitas remaja. Tanpa masjid hadir secara aktif dan subtansial, umat berjalan tanpa kompas spiritual yang relevan.
Pada sejumlah masjid yang dikelola secara tradisional, hasil pengumpulan infak dari jamaah lebih banyak digunakan untuk biaya pemeliharaan, membayar listrik, air, pembelian atau peremajaan karpet, perawatan speaker, selain biaya operasional untuk shalat Jum’at. Pada masjid yang pemasukan infak dari jamaah terbatas, bisa difahami. Masalahnya pada sejumlah masjid yang pemasukan infaknya sudah memadai dan apalagi ada alokasi khusus dari pemerintah, perusahaan swasta atau bantuan donator tetap, seyogianya kegiatan masjid tidak boleh berhenti pada ritual, operasional dan apalagi konsumtif.
Ditinjau dari perspektif syariah, infak dapat dioptimalkan untuk peningkatan kualitas sumber daya jamaah, pemberdayaan UMKM pelatihan skill, beasiswa anak dhuafa, bantuan kesehatan, dana darurat keluarga miskin dan sebagainya. Ada kecenderungan saat ini dimana generasi milenial menjauh dari masjid. Remaja tidak menemukan ruang bimbingan, kreativitas atau edukasi. Yang ada hanyalah ceramah yang sering tidak membumi. Akhirnya mereka mencari makna hidup di luar masjid —bahkan kadang pada sumber yang destruktif.
Reformasi Masjid
Untuk mengatasi berbagai tantangan dan problem yang sebenarnya sudah lama diketahui oleh pemerintah, institusi keagamaan atau tokoh-tokoh dan ulama Islam, akademisi dan sebagainya, diperlukan reformasi pengelolaan masjid secara substansial dan komprehensif. Makna reformasi pengelolaan masjid tersebut bukan sekadar mengganti pengurus, tetapi mengubah paradigma, sistem dan arah kerja masjid. Tujuannya agar manajemen masjid yang sudah berkualitas menjadi tambah berkualitas dan yang belum berkualitas menjadi berkualitas.
Caranya dengan mengembalikan paradigma masjid sebagai Pusat Pelayanan Umat. Seperti pada masa Nabi, dimana masjid hadir sebagai pusat pendidikan Al-Qur’an dan ilmu kehidupan; pusat konsultasi keluarga, pusat bantuan sosial, pusat dakwah yang membumi, pusat ekonomi jamaah. Dan lebih luas lagi sebagai pusat peradaban umat Islam. Dengan kata lain, masjid saat itu hadir di tengah-tengah masyarakat dan umat untuk ikut memberi solusi.
Langkah selanjutnya adalah melakukan profesionalisasi manajemen masjid. Masjid perlu standar akuntabilitas keuangan, SDM dengan keahlian manajemen, pembagian tugas yang jelas, penggunaan teknologi (aplikasi infak, laporan transparan, bank data jamaah), pelatihan manajemen bagi takmir dan lain-lain. Reformasi manajemen ini berlaku bagi semua masjid, baik yang dibangun dan dikelola oleh institusi pemerintah, maupun oleh swasta (Yayasan), termasuk oleh individu.
Reformasi lain yang tidak kalah pentingnya adalah optimalisasi infak yang dimiliki dan dikelola masjid sebagai dana pemberdayaan umat, dan bukan hanya berputar pengelola/pengurus masjid, imam, muadzin, dai-daiyah, khotib Jum’at, atau penceramah yang diundang dan dihadirkan oleh pengurus masjid. Setiap rupiah infak harus dipandang sebagai sebagai amanah untuk meningkatkan kualitas kehidupan jamaah dalam berbagai aspeknya, bukan hanya biaya listrik dan operasional.
Mengingat jumlah generasi milenial saat ini sangat banyak bahkan disebut-sebut Indonesia memperoleh bonus demografi karena limpahan penduduk kategori ini, masjid harus dijadikan ruang terbuka dan ramah bagi generasi milenial dan keluarga muslim. Maka, program masjid harus diarahkan pada kegiatan mentoring generasi milenial, penyuluhan keluarga, peningkatan etos dan kompetensi kewirausahaan, klinik konsultasi (agama, psikologi, hukum), menjadi rumah yang ramah bagi kaum lansia, disabilitas dan sebagainya.
Pada akhirnya, agenda besar reformasi masjid adalah menjadikan dan mewujudkan masjid sebagai pusat peradaban baru umat Islam di era transformasi digital. Dengan demikian reformasi pengelolaan masjid adalah keniscayaan dan kebutuhan zaman. Bukan untuk “menghidupkan masjid secara fisik”, tetapi menghidupkan umat melalui masjid. Ketika manajemen masjid berubah dari ritualistik menjadi substansialistik dan transformasional, maka masjid akan menjadi lokomotif perubahan sosial, bukan hanya tempat sujud. *