Pengamat Intelijen dan Geopolitik Amir Hamzah.
Jakarta, RIC – Pengamat Intelijen dan Geopolitik Amir Hamzah menilai kebijakan pemerintah menaikkan remunerasi bagi para hakim harus dibarengi dengan pembinaan mental, integritas, dan pengawasan yang kuat agar tujuan reformasi peradilan benar-benar tercapai. Peningkatan kesejahteraan memang penting, namun tidak serta‐merta menjadi jaminan praktik kecurangan atau penyimpangan di lingkungan peradilan otomatis lenyap.
Mentalitas, komitmen moral dan integritas personal merupakan fondasi utama dalam profesi kehakiman yang bersentuhan langsung dengan rasa keadilan masyarakat. “Kenaikan remunerasi itu baik, tetapi tidak menjamin hakim tidak berbuat curang,” ungkap Amir, Sabtu (22/11/2025).
Amir mengingatkan sejarah menunjukkan banyak kasus penyimpangan justru terjadi di lembaga yang gajinya relatif besar, karena persoalannya bukan semata nominal, melainkan karakter dan nilai‐nilai yang dipegang oleh pejabat publik.
Hakim justru perlu mencontoh semangat pengabdian profesi yang ditunjukkan para guru honorer, meskipun menerima gaji kecil, tetap mendedikasikan diri untuk pendidikan dan masa depan bangsa.
“Guru honorer gajinya kecil, tetapi pengabdiannya sangat luar biasa. Harusnya hakim meniru mental guru honorer,” kata Amir menekankan. Jika profesi guru yang pendapatannya minim saja bisa memelihara nilai pengabdian, kejujuran dan semangat bekerja tanpa keluh kesah, maka profesi hakim yang digaji tinggi seharusnya mampu menunjukkan integritas lebih besar lagi.
Amir mendorong pemerintah untuk tidak hanya fokus pada peningkatan kesejahteraan aparat penegak hukum, tetapi juga memperhatikan nasib para guru honorer yang menjadi pilar pendidikan di daerah. “Negara ini berdiri karena pendidikan. Jadi kalau remunerasi hakim naik, jangan lupa bahwa guru honorer pun harus diperhatikan,” ujarnya.
Kenaikan remunerasi baru akan efektif mendorong perbaikan kualitas peradilan jika dibarengi dengan pembinaan mental yang berkelanjutan. Ia menilai perlu adanya sistem internal yang kuat, mulai dari pendidikan integritas sejak di bangku sekolah calon hakim, evaluasi berkala, hingga pengawasan yang tegas dari Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Agung (MA).
“Remunerasi adalah instrument, tapi yang paling penting adalah pembentukan mental. Jika mental tidak siap, gaji naik pun tidak mengubah perilaku,” tegasnya.
Ia mencontohkan negara‐negara dengan indeks korupsi rendah tidak hanya memberikan gaji tinggi bagi pejabat publik, tetapi juga menerapkan sistem integritas yang transparan, mengawasi setiap keputusan penting dan menindak tegas pelanggaran tanpa pandang bulu.
Amir menyoroti masalah terbesar lembaga peradilan saat ini: rendahnya tingkat kepercayaan publik. Setiap kasus suap hakim, putusan kontroversial atau ketidakadilan yang dirasakan masyarakat semakin memperburuk citra lembaga hukum. Kenaikan remunerasi justru akan menjadi beban moral bagi hakim.
“Dengan gaji tinggi, ekspektasi publik juga tinggi. Kalau masih ada yang berbuat curang, itu pengkhianatan terhadap kepercayaan rakyat,” katanya.
Peningkatan remunerasi hanyalah bagian kecil dari upaya besar membangun peradilan yang bersih. Poin utama tetap pada integritas dan pembinaan mental para hakim.
“Memperbaiki lembaga peradilan bukan hanya soal gaji, tapi bagaimana membentuk manusia yang jujur, kuat mentalnya dan menjadikan keadilan sebagai panggilan hidup. Di situ letak kunci reformasi,” ujarnya.
Amir menandaskan pemerintah, lembaga peradilan dan seluruh komponen negara dapat menjadikan momen kenaikan remunerasi hakim sebagai langkah awal memperkuat integritas, bukan sekadar meningkatkan kesejahteraan individu. *man