
Anggota Bawaslu RI, Puadi, saat menyampaikan pengantar dalam acara Peluncuran sekaligus Bedah Buku karya terbarunya berjudul "Dinamika Pengawasan Pemilu: Peran Bawaslu dan Interaksi Kepentingan", di Perpusnas RI, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Sabtu, 30 Agustus 2025. *ist
Oleh Achmad Fachrudin, Veteran Penyelenggara Pemilu di Jakarta
BUKU “Dinamika Pengawasan Pemilu, Peran Bawaslu dan Interaksi Kepentingan” yang coba dicermati kali ini ditulis oleh Dr Puadi MM. Seorang penggiat demokrasi yang berpengalaman panjang di dunia pengawasan Pemilu. Mulai dari anggota dan Ketua Panwaslu Jakarta Barat (2013–2016 dan 2016-2017), anggota Bawaslu DKI (2017–2022), hingga anggota Bawaslu RI (2022–2027). Sebelum itu Puadi dikenal sebagai aktivis HMI dan KAHMI. Buku ini berasal dari disertasi doktoralnya di Universitas Nasional (2025). Metode penelitiannya menggabungkan kajian teoritik dengan pengalaman empiris.
Buku setebal 234 halaman ini terdiri dari enam bab, yakni: Isu Pengawasan Pemilu, Teori-teori Demokrasi dan Pemilu, Eksistensi dan Peran Bawaslu; Interaksi Kepentingan serta Refleksi dan Strategi Penguatan Pengawasan Pemilu. Inti kajian menyoroti benturan antara idealitas regulasi dengan realitas praktik kepemiluan, terutama terkait interaksi kepentingan antar-aktor politik, partai, penyelenggara, masyarakat sipil, hingga media. Serta peran penting Bawaslu DKI di tengah berbagai benturan kepentingan tersebut saat Pemilu 2019 di DKI.
Interaksi Kepentingan
Pada Bab I membahas Isu, Dinamika dan Problematika Pengawasan Pemilu. Akar masalahnya: seringnya terjadi benturan antara idealitas (norma, kontruksi hukum, cita-cita) Pemilu dan sebagainya dengan implementasi atau realitas Pemilu. Dengan melibatkan berbagai aktor politik yang saling berinteraksi dan saling berpengaruh. Bahkan dinamika pengawasan Pemilu sudah terlihat saat penunjukan anggota Bawaslu yang dapat menjadi arena persaingan (kontestasi) politik antar partai politik atau kelompok kepentingan (hal 6).
Interaksi kepentingan juga tercermati pada berbagai Tahapan Pemilu lainnya. Seperti saat pemutakhiran data pemilih, penggunaan Sistem Informasi Data Pemilih atau Sidalih (hal 7), Netralitas Aparatur Sipil Negara atau ASN (hal 127), praktik politik uang dalam kampanye (hal 140), pemenuhan 30% keterwakilan perempuan dalam verifikasi partai politik peserta Pemilu (hal 153), pengawasan pembatasan pencalonan anggota legislatif mantan narapidana (hal 182) dan lain-lain.
Untuk menganalisis berbagai persoalan tersebut, pada Bab 2 penulis mengadopsi teori-teori demokrasi dari Habermas, Dahl, Huntington, Przeworski, Schumpeter, Diamond, Sartori, Hasen, dan lain-lain serta ahli Indonesia seperti Jimly Asshidiqie dan Ramlan Surbakti. Lima teori digunakan sebagai pisau analisis: teori demokrasi, teori Pemilu demokratis, teori pengawasan Pemilu, teori independensi Penyelenggara Pemilu dan teori interaksi kepentingan. Teori terakhir, dipengaruhi gagasan RAW Rhodes tentang pengawasan Pemilu.
Pada Bab 3 membahas eksistensi Bawaslu dalam desain Pengawasan Pemilu di Indonesia. Kemudian pada Bab 4 membahas peran Bawaslu dalam Pengawasan Pemilu. Pada resensi buku kali ini Bab 3 dan Bab 4 tidak diulas karena sudah banyak dan lazim diketahui, terutama oleh pakar, peneliti dan penggiat demokrasi. Maka, ulasan lebih difokuskan pada Bab 5 yang bertajuk “Interaksi Kepentingan Dalam Pengawasan Pemilu”.
Bagian ini merupakan paling penting. Karena biasanya penulisnya akan menggunakan bagian ini untuk melakukan dialektika, simbiotik atau sintesa baru antara teori dengan teori-teori lain dikontestualisasikan dengan data dan temuan penelitian. Bagian ini juga digunakan penulis buku ini untuk menganalisis peran Bawaslu DKI dalam Pengawasan Pemilu dengan menggunakan teori-teori Pengawasan Pemilu sebagai pisau analisisnya.
Dialektika Pengawasan Pemilu
Secara umum pada Bab 5, Puadi berhasil melakukan dialektika tersebut. Sebagai contoh dalam hal pemutakhiran data pemilih. Merujuk pendapat James V. McConnell, kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan dalam suatu sistem akan selalu berusaha mempengaruhi keputusan yang dapat berdampak pada mereka.
Menghadapi pluralitas kepentingan tersebut, dari sisi Bawaslu DKI, sebagai lembaga yang bertanggungjawab memastikan keakuratan Daftar Pemilih Tetap (DPT) serta pencegahan manipulasi data yang dapat merugikan integritas Pemilu, Pengawasan Pemilu menjadi bagian tak terpisahkan dari keseluruhan proses Pemilu yang bebas dan adil. Sementara ketidakakuratan dalam daftar pemilih dapat memicu krisis kepercayaan publik terhadap hasil Pemilu.
Mengenai pengawasan pembatasan calon anggota legislatif bagi mantan narapidana pada Pemilu Serentak 2019, terjadi dinamika konflik dan negoisasi yang melibatkan berbagai aktor seperti partai politik, Bawaslu, KPU, masyarakat sipil dan media. Salah satu isu mencuat seputar pencalonan “MT” (calon legislatif dari Partai Gerindra untuk DPRD DKI). Bawaslu DKI berpendapat, PKPU No. 20 Tahun 2018 bertentangan dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-undangan. Alasan lainnya, karena “MT” telah selesai menjalani masa penahanan dan secara kumulatif bersedia secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik serta mencantumkan dalam daftar riwayat hidup. (https://news.detik.com/berita/d-4191747/bawaslu-loloskan-m-taufik-nyaleg-ini-yang-dilakukan-kpu).
Secara teori politik, keputusan Bawaslu DKI sejalan dengan pandangan Douglas C. North bahwa institusi membentuk perilaku politik, serta Robert A. Dahl yang menekankan tarik-menarik kepentingan antar kelompok. Karena itu, menurut Puadi, keseimbangan kepentingan melalui pengawasan transparan dan akuntabel menjadi kunci menjaga keadilan pemilu dan kepercayaan publik (hal 189).
Keterwakilan Perempuan
Contoh lain terkait dengan pengawasan pemenuhan 30% keterwakilan perempuan dalam verifikasi partai politik. Menurut Mona Lena Krook, kebijakan afirmatif saja tidak cukup untuk menjamin keterwakilan perempuan yang bermakna dalam politik. Kebijakan ini perlu diiringi dengan perubahan struktural dalam sistem politik yang Inklusif terhadap perempuan. Sementara Pierre Bourdieu menyoroti bahwa faktor budaya dan jaringan sosial memiliki peran signifikan dalam membentuk keterwakilan perempuan dalam politik.
Dalam kontek ini, Bawaslu, KPU, partai politik, masyarakat sipil dan media massa perlu membentuk jaringan pengawasan yang memiliki kepentingan dan strategi berbeda dalam implementasi kebijakan afirmatif keterwakilan perempuan. Keterwakilan perempuan pada Pemilu 2019 sudah mengalami kemajuan, namun masih banyak tantangan yang harus diatasi. Seperti penguatan regulasi, reformasi rekruitmen partai politik, peningkatan pendidikan politik bagi perempuan serta peran aktif dalam pengawasan untuk memastikan keterwakilan perempuan tidak hanya terpenuhi secara kuantitatif, tetapi juga memberikan dampak nyata dalam pengambilan kebijakan publik. (hal 213).
Pada Bab 6 atau bab terakhir, terdiri dari tiga sub judul, yakni: A. Refleksi Pengawasan Pemilu, B. Strategi Penguatan Pengawasan Pemilu, dan C. Kontribusi terhadap Pengembangan Teori. Pada bagian refleksi dan strategi pengawasan Pemilu, pada intinya untuk meningkatkan pengawasan berbagai tahapan Pemilu, dari sisi KPU diperlukan transparansi dan aksesibilitas data yang diperlukan oleh Bawaslu. Sedangkan dari sisi Bawaslu, diperlukan reformasi regulasi agar sanksi terhadap pelanggar Pemilu dikenakan hukuman berat dalam bentuk administratif, maupun pidana; penguatan sumber daya manusia; perbaikan sistem pelaporan dan pengaduan masyarakat secara online, pelibatan dukungan aktif dan konkrit dari partai politik dan masyarakat sipil.
Sebagai suatu karya akademik, dipastikan akan muncul pertanyaan mengenai kontribusi desertasi ini terhadap pengembangan teori. Sekurangnya tiga hal pokok yang ditargetkan oleh penulis buku ini, yakni: Pertama, terkait dengan teori pengawasan Pemilu. Kedua teori independensi pengawasan Pemilu, dan Ketiga teori interaksi kepentingan. Seperti sudah disinggung, buku ini memberi kontribusi pada pengembangan ketiga teori tersebut, terutama terkait dengan teori interaksi kepentingan. Bagian ini juga bisa dianggap sebagai kebaruan (novelty) dari disertasi ini.
Catatan Kritikal
Meski menawarkan banyak hal penting, buku ini menyisakan sejumlah catatan kritikal. Pertama, potensi bias subyektif tidak terhindarkan karena penulis adalah bagian dari Bawaslu, sehingga kritik terhadap kelemahan internal Bawaslu kurang menonjol. Kedua, fokus kajian terbatas pada Pemilu Serentak 2019 di Jakarta, sehingga sulit digeneralisasi ke konteks nasional yang lebih beragam. Ketiga, rekomendasi yang diajukan belum diiringi analisis mendalam mengenai implementasi dan hambatan praktis di lapangan.
Lalu keempat, pembahasan interaksi kepentingan masih lebih deskriptif daripada analitis, khususnya terkait mekanisme kekuasaan politik dan ekonomi. Kelima, keterbatasan data primer dan sekunder membuat representasi aktor politik belum sepenuhnya komprehensif. Keenam, isu sanksi dan penegakan hukum terhadap pelanggaran, seperti politik uang dan netralitas ASN, belum digali secara tuntas, terutama terkait peran lembaga penegak hukum dan kendala birokratis maupun politis.
Di atas itu semua, buku ini sangat layak dibaca dan disimak bagi siapa saja yang ingin memahami dan mendalami seluk beluk demokrasi electoral, khususnya proses pengawasan Pemilu, khususnya di Jakarta. Untuk tujuan peningkatan pemahaman, penguatan institusi demokrasi dan masyarakat sipil. Muara akhirnya tidak lain untuk memperkuat pengawasan Pemilu, dan menegakkan keadilan Pemilu. Diharapkan paska membaca karya akademik ini menginspirasi melahirkan karya serupa untuk memperkaya khasanah akademis di bidang Pemilu, khususnya pengawasan Pemilu yang masih langka. Terutama oleh Pengawas Pemilu lainnya. *