
Mako Brimob Kwitang terbakar, Jum'at (29/8/2025). *ist
Pagi-pagi sabu, Tiap hari nyabu, Enak-enak-enak rasanya.
Di kampung di kota, Di mana pun ada, Mudah didapat. Syeach.
Jakarta, RIC – Bagi Anda penggemar lagu dangdut tentu tahu lagu dengan judul “Sabu Sabu” ini dinyanyikan Alam, adik penyanyi Vetty Vera. Lagu Dangdut Sabu Sabu yang diciptakan Slamet ini merekam masyarakat kita selain sarapan nasi dan lauk pauknya, ada menu lain: Sarapan Bubur (Sabu).
Untuk ‘nyabu’, saat ini di kota tidak hanya waktu pagi tapi juga bisa malam hari. Mudah ditemui dengan sebutan bubur ayam. Untuk mencari bubur dengan menu sayur pedas atau sayur anyeb, dipastikan tidak bakal ada.
Cara makan bubur pun sangat beragam. Ada yang mengaduk bubur secara merata. Ada yang makan dari tengah – tengah. Ada yang mulai makan bubur dari pinggir ke tengah. Sementara ada orang yang kalau makan bubur tidak diaduk tapi dari pinggir ke tengah sampai tandas.
Apa sih hubungan antara lagu Sabu Sabu, cara makan bubur dengan kondisi perpolitikan terkini?
Gejolak politik nasional yang kian memanas pasca gelombang demonstrasi yang disertai aksi rusuh dan pembakaran sejak 25 hingga 30 Agustus 2025, yang dikabarkan dan sedang dalam penyelidikan diduga kuat akibat “permainan Geng Solo”.
Antara Bubur dan Geng Solo
Kondisi tersebut memunculkan istilah baru yang dilontarkan Pengamat Intelijen dan Geopolitik Amir Hamzah: politik mengaduk bubur dari pinggiran.
Menurut Amir, inilah strategi yang dipakai Presiden Prabowo Subianto untuk menyingkirkan pengaruh kelompok yang disebut-sebut sebagai “Geng Solo”, jaringan lama yang kerap dikaitkan dengan mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Aksi besar mahasiswa dan buruh dengan tema Revolusi Rakyat Indonesia yang berujung ricuh telah menelan korban jiwa. Dalam pusaran kerusuhan itu, nama “Geng Solo” kembali mengemuka. Kelompok ini dituding berada di balik mobilisasi massa dan operasi lapangan yang memperuncing situasi. Walaupun tak pernah diakui secara resmi, istilah “Geng Solo” sudah lama menjadi semacam kode untuk menyebut lingkaran loyalis Jokowi yang mengakar di Jawa Tengah, khususnya Solo.
Menurut Amir, Prabowo melihat keberadaan kelompok ini sebagai ancaman laten. Mereka bukan hanya punya jejaring politik, tetapi juga punya muscle di lapangan. “Kalau dibiarkan, Geng Solo bisa tetap mengganggu stabilitas politik dan bahkan memengaruhi arah kekuasaan ke depan,” ungkap Amir, Sabtu (6/9/2025).
Pergeseran besar tampak ketika Nadiem Makarim, mantan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi di Era Jokowi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pengadaan Chromebook. Padahal saat Jokowi berkuasa, berbagai kalangan pendidik sudah mendesak agar Nadiem dicopot karena kebijakan Merdeka Belajar dianggap membingungkan, namun Jokowi tetap mempertahankannya.
Kini, di era Prabowo, status hukum Nadiem menjadi bukti bahwa “orang Jokowi” satu per satu mulai kehilangan imunitas politik dan hukum. “Ini bagian dari mengaduk bubur dari pinggiran,” kata Amir.
“Prabowo tidak langsung berhadapan dengan Jokowi, melainkan mengikis kekuatan orang -orangnya dari pinggiran, dari kasus hukum, dari isu-isu publik, sampai pada akhirnya pengaruh Geng Solo melemah,” terang Amir.
Amir menjelaskan istilah ini bukan sekadar metafora. Bubur, kata dia, adalah makanan yang jika diaduk dari tengah bisa langsung rusak teksturnya. Tetapi jika diaduk perlahan dari pinggiran, bubur akan tetap hangat, merata dan akhirnya tercampur sempurna tanpa menimbulkan gejolak.
“Prabowo tidak frontal. Ia tidak langsung menabrak Jokowi yang masih punya simpatisan. Ia justru bergerak sistematis, membiarkan gejolak di pinggiran, sambil menyingkirkan satu per satu tokoh dan jaringan yang dulu menjadi tulang punggung Jokowi,” papar Amir.
Ada beberapa langkah nyata yang menurut Amir masuk dalam pola ini:
Pertama, Labelisasi aktor lapangan. Dengan mengemukanya istilah “Geng Solo”, publik diarahkan untuk melihat kerusuhan bukan sebagai gerakan rakyat semata, melainkan sebagai ulah kelompok tertentu yang bisa dipersalahkan.
Kedua, Penindakan hukum selektif. Kasus Nadiem hanyalah awal. Amir memprediksi tokoh -tokoh lain yang terkait lingkaran Jokowi juga akan terjerat kasus hukum. “Ini bukan kebetulan, melainkan desain,” katanya.
Ketiga, Narasi stabilitas negara. Setiap langkah keras dibungkus dengan alasan menjaga keamanan nasional dan menegakkan hukum. Publik didorong percaya Prabowo bertindak untuk kepentingan rakyat, bukan sekadar politik kekuasaan.
Keempat, Menguras energi lawan. Dengan membiarkan kerusuhan jalanan, kelompok seperti Geng Solo justru menghabiskan tenaga, dana dan simpati publik, sehingga makin lemah ketika berhadapan dengan negara.
Namun, Amir juga mengingatkan strategi ini tidak tanpa risiko. Mengikis pengaruh lawan politik dengan memanfaatkan kerusuhan dan kasus hukum bisa menimbulkan blowback. “Kalau publik merasa hukum dipakai sebagai alat politik, bisa muncul resistensi lebih besar. Bahkan simpati bisa kembali ke pihak yang ditekan,” analisis Amir.
Selain itu, konflik berlapis antara pusat kekuasaan dan jaringan lama seperti Geng Solo bisa memperparah polarisasi. “Kalau ini tidak diatur dengan cermat, Prabowo bisa dianggap sedang menjalankan politik balas dendam,” tambahnya.
Dalam jangka pendek, tentu Prabowo dan lingkaran kekuasaannya. Dengan melemahkan Geng Solo, Prabowo bisa lebih bebas menata ulang konstelasi politik tanpa harus khawatir ada jaringan lama Jokowi yang masih mendominasi dan ngrusuhi.
Tetapi dalam jangka panjang, kemenangan ini bisa menjadi bumerang. Jika strategi ini dianggap manipulatif, maka kepercayaan publik pada pemerintah bisa terkikis. “Inilah tantangan besar Prabowo: bagaimana menjaga legitimasi sekaligus menjalankan strategi politik yang keras,” pungkas Amir Hamzah. *man