
Pengamat Intelijen dan Geopolitik Amir Hamzah.
Oleh: Amir Hamzah, Pengamat Intelijen dan Geopolitik
TUNTUTAN kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 dalam bentuk aslinya kembali mengemuka. Gelombang ini tidak hanya datang dari elemen masyarakat sipil dan akademisi, tapi juga dari para tokoh bangsa. Mantan Wakil Presiden Jenderal (Purn.) Try Sutrisno secara tegas menyerukan agar Indonesia kembali pada UUD 1945 sebagai fondasi awal negara yang dianggap lebih selaras dengan jati diri bangsa.
Namun, jalan menuju perubahan konstitusi tidaklah mudah. Bahkan bisa dikatakan merupakan proses panjang, penuh tantangan dan sarat risiko geopolitik. Tidak bisa hanya mengandalkan nostalgia politik atau romantisme sejarah, tanpa memperhitungkan kekuatan politik yang riil dan dinamika kekuasaan nasional maupun global.
UUD 1945 yang asli dianggap sebagai cetak biru konstitusi yang dirancang dengan semangat kolektif para pendiri bangsa. Konstitusi ini mengandung nilai-nilai kedaulatan rakyat yang kuat, prinsip musyawarah mufakat dan peran negara yang sangat dominan dalam mengatur perekonomian nasional demi kemakmuran rakyat.
Namun setelah reformasi 1998, UUD 1945 mengalami amandemen sebanyak empat kali. Hasilnya adalah konstitusi baru yang —menurut para pengkritik—, terlalu liberal, terlalu teknokratis dan menjauh dari filosofi Pancasila sebagai dasar negara. Beberapa pihak menilai amandemen itu mengikis kedaulatan negara dan membuka celah bagi dominasi pasar serta intervensi asing dalam pengambilan keputusan strategis nasional.
Tuntutan kembali ke UUD 1945 adalah bentuk kegelisahan terhadap situasi nasional yang dinilai semakin menjauh dari cita-cita kemerdekaan: ketimpangan ekonomi yang melebar, kemandirian nasional yang melemah, serta kedaulatan yang sering tergadaikan oleh kepentingan global.
Tidak seperti tahun 1959 ketika Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang secara sepihak memberlakukan kembali UUD 1945, hari ini sistem politik dan konstitusional Indonesia tidak memungkinkan langkah sepihak seperti itu. Sistem presidensial, supremasi hukum dan checks and balances yang diatur dalam UUD hasil amandemen tidak memberikan ruang kepada Presiden Prabowo untuk secara langsung memberlakukan kembali UUD 1945.
Untuk bisa kembali ke UUD 1945, dibutuhkan kekuatan politik mayoritas di MPR. Lembaga ini kini terdiri dari anggota DPR dan DPD. Untuk melakukan perubahan konstitusi —apalagi membatalkan amandemen dan memberlakukan UUD 1945 versi asli— dibutuhkan minimal 2/3 suara dari seluruh anggota MPR yang hadir dan kehadiran harus mencapai minimal 2/3 dari seluruh anggota.
Artinya, koalisi politik yang mengusung ide ini harus mampu menyatukan berbagai fraksi politik yang saat ini memiliki kepentingan dan pandangan yang sangat beragam. Tidak cukup hanya dengan kekuatan eksekutif. Militer —yang dulu menjadi aktor dominan dalam politik Orde Baru—, kini berada di luar arena politik praktis. Keterlibatan TNI dalam isu ini hanya bisa terjadi secara moral dan kebangsaan, bukan institusional.
Dari perspektif geopolitik, langkah untuk kembali ke UUD 1945 dapat menimbulkan persepsi negatif dari kekuatan global, terutama negara-negara Barat dan lembaga keuangan internasional. Konstitusi asli dianggap mengandung pasal-pasal yang terlalu proteksionis dan anti-pasar bebas. Pasal 33 UUD 1945, misalnya, yang menegaskan bahwa bumi, air dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, akan berbenturan dengan kepentingan asing yang saat ini menguasai banyak sektor strategis di Indonesia.
Langkah kembali ke UUD 1945 juga dapat dipersepsikan sebagai gejala “autoritariasisme baru”, jika tidak dikomunikasikan secara transparan dan demokratis. Negara-negara tetangga dan mitra dagang mungkin akan menilai Indonesia sebagai negara yang kembali mundur ke masa lalu, meninggalkan sistem demokrasi liberal yang sekarang menjadi standar global.
Namun, geopolitik juga bisa menjadi peluang. Dunia hari ini tengah mengalami reshuffling tatanan global. Tiongkok, Rusia, India dan negara-negara di Global South mulai menantang dominasi Barat. Dalam konteks ini, Indonesia bisa memainkan kartu kedaulatan konstitusional untuk memperkuat posisi tawarnya. Tapi langkah ini harus dilakukan dengan kecermatan dan diplomasi tingkat tinggi.
Dalam praktiknya, usulan kembali ke UUD 1945 memiliki dua jalur:
- Restorasi total, yakni memberlakukan UUD 1945 secara utuh seperti sebelum diamandemen.
- Amandemen terbatas, yakni merevisi kembali UUD hasil amandemen dengan menambahkan pasal-pasal atau mengembalikan semangat asli UUD 1945 tanpa harus membatalkan seluruh perubahan.
Opsi kedua tampaknya lebih realistis secara politik. Banyak tokoh masyarakat dan akademisi mendorong adanya amandemen terbatas untuk meninjau kembali sistem presidensial, peran MPR sebagai lembaga tertinggi negara, pemilu langsung, serta penguatan peran negara dalam perekonomian.
Proses kembali ke UUD 1945 tidak bisa dilakukan secara instan atau reaktif. Ini adalah agenda besar yang menyangkut masa depan sistem ketatanegaraan, politik, ekonomi dan pertahanan Indonesia. Butuh konsolidasi nasional, dialog publik yang luas dan kemauan politik yang besar.
Sejarah telah mengajarkan bahwa bangsa yang mampu menyesuaikan diri dengan dinamika global tanpa kehilangan jati dirinya akan tetap berdiri kokoh. Kembali ke UUD 1945 bukan sekadar soal naskah hukum, tetapi tentang bagaimana kita menata ulang arah bangsa ini menuju kemandirian sejati. ****