Kordinator Divisi Penanganan Pelanggaran dan Data Informasi (PP-Datin) Bawaslu RI Dr Puadi SPd MM. *Ist
Jakarta, RIC — Tantangan pengawasan dan penanganan pelanggaran Pemilu pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 135/2025 kian kompleks. Inkonsistensi penegakan hukum dapat melemahkan legitimasi demokrasi. Karena itu, selain konsistensi, ketepatan dan kualitas penanganan pelanggaran harus semakin diperkuat, para Pengawas Pemilu di semua tingkatan wajib memahami secara utuh substansi perubahan regulasi pasca putusan MK.
Hal tersebut dikemukakan Kordinator Divisi Penanganan Pelanggaran dan Data Informasi (PP-Datin) Bawaslu RI Dr Puadi SPd MM pada Kegiatan Electoral Supervisory Leadership Award (ESLA) 2025. Kegiatan dihadiri pimpinan dan jajaran Bawaslu RI, Ketua Bawaslu Provinsi seluruh Indonesia, Tim Panel Pakar serta undangan lainnya, Minggu lalu. Pada acara itu, Bawaslu RI memberi apresiasi kepada jajaran Pengawas Pemilu berprestasi.
Menurut Puadi, tujuan memahami secara utuh substansi perubahan regulasi paska putusan MK, agar mampu memastikan setiap laporan dan temuan ditangani tepat waktu dan tepat prosedur; memperkuat koordinasi dengan Aparat Penegak Hukum (APH), KPU, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), dan lembaga lainnya; menjaga kualitas analisis awal, klasifikasi pelanggaran, dan kesesuaian penindakan dengan koridor hukum terbaru; dan menjamin bahwa hak-hak peserta Pemilu dan pemilih tetap dihormati dalam seluruh proses.
Masih sekaitan pasca Putusan MK No. 135/2025, Puadi menyinggung pentingnya kepemimpinan Pengawas Pemilu yang tidak hanya bersifat administratif, tetapi mencakup kompetensi substantif, manajerial, kemampuan sosio-kultural, kapasitas komunikasi publik, serta keteladanan integritas. Menurutnya, Pengawas Pemilu harus mampu menerjemahkan visi kelembagaan ke dalam praktik pengawasan yang adaptif, kolaboratif, dan responsif terhadap perubahan lingkungan strategis Pemilu.
Selain itu, Pengawas Pemilu wajib menampilkan integritas moral dan legal: mandiri, jujur, adil, profesional, akuntabel serta bebas dari konflik kepentingan maupun pelanggaran hukum atau etik. “Integritas merupakan legitimasi moral yang menentukan tingkat kepercayaan publik terhadap kerja-kerja pengawasan Pemilu dan terhadap demokrasi itu sendiri,” tukas Puadi.
Ia menambahkan, Pengawas Pemilu tidak cukup hanya melaksanakan mandat normatif, tetapi juga diperlukan penguatan tata kelola dan kompetensi kelembagaan, serta inovasi yang berkelanjutan. Oleh karena itu, kinerja pengawasan Pemilu di tingkat pusat maupun daerah sangat ditentukan kualitas kepemimpinan pada setiap level struktur.
Sementara terkait dengan kegiatan ESLA, peraih Gelar Doktor Ilmu Politik dari Universitas Nasional (Unas) mengatakan, integritas, inovasi, ketangguhan manajerial, dan keberanian mengambil keputusan harus diwujudkan dalam praktik nyata penanganan laporan, temuan dan koordinasi antar-lembaga.
Kepada para penerima penghargaan, Puadi berharap, semangat ESLA menjadi dorongan untuk terus meningkatkan profesionalitas dalam setiap tahapan penanganan Pelanggaran Pemilu. Dengan begitu, ESLA bukan sekadar apresiasi, tetapi instrumen penguatan kapasitas kelembagaan dan kepemimpinan yang menentukan kualitas pengawasan dan penegakan hukum Pemilu ke depan. (abah/man)