Masjid di dalam komplek SMA Negeri 72 Jakarta tempat terjadi ledakan bom, Jum'at (7/11/2025). Sejumlah siswa menjadi korban ledakan itu dan kini dalam perawatan medis. *ist
Jakarta, RIC — Jakarta diguncang bom. Teror bom terjadi di Masjid SMAN 72 Jakarta pada saat akan melaksanakan Sholat Jumat atau Jum’atan (7/11/2025). Puluhan jamaah siswa SMA itu menjadi korban.
Ledakan yang terjadi di lingkungan SMAN 72 Jakarta, kawasan Komando Daerah Maritim (Kodamar), dinilai bukan sekadar insiden kriminal biasa. Pengamat Intelijen dan Geopolitik Amir Hamzah menilai, aksi tersebut membawa pesan politik dan psikologis yang sangat serius terhadap stabilitas nasional serta pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Menurut Amir Hamzah, lokasi ledakan di area yang sangat dekat dengan instalasi militer TNI AL bukanlah kebetulan. SMAN 72 berlokasi di wilayah Kodamar, sebuah kawasan yang dikenal sebagai pusat aktivitas prajurit dan keluarga besar Angkatan Laut.
“Pelaku ingin menunjukkan bahwa kompleks TNI AL sekalipun bisa ditembus. Ini pesan psikologis yang diarahkan ke institusi militer: bahwa mereka tidak sekuat yang dibayangkan. Ada unsur ingin mempermalukan aparat pertahanan negara,” ujar Amir Hamzah, Jumat (7/11/2025).
Amir menilai, pemilihan lokasi itu juga bagian dari strategi simbolik yang kerap dipakai dalam operasi sabotase terstruktur. Dengan melakukan aksi di tempat yang memiliki nilai strategis militer, pelaku ingin menguji sekaligus melemahkan rasa percaya diri aparat pertahanan dan keamanan. Ledakan tersebut terjadi waktu salat Jumat, dan di area sekolah yang memiliki masjid aktif di dalam kompleksnya.
Menurut Amir Hamzah, pemilihan waktu dan lokasi itu bukan tanpa perhitungan. “Masjid di lingkungan sekolah dipilih agar muncul kemarahan di kalangan umat Islam. Ini bentuk operasi provokasi yang menargetkan emosi kolektif. Ketika ledakan terjadi menjelang atau saat ibadah Jumat, pesan yang diharapkan muncul adalah kemarahan dan kecurigaan,” jelasnya.
Bom Untuk Pemerintahan Baru
Dari sisi geopolitik domestik, lanjut Amir, langkah ini seolah ingin memancing perpecahan horizontal di antara kelompok masyarakat —terutama antara umat Islam dengan negara atau aparat keamanan. Strategi seperti ini sering digunakan oleh aktor-aktor yang ingin menciptakan instabilitas sosial menjelang konsolidasi pemerintahan baru.
Polisi sebelumnya melaporkan adanya temuan softgun, senjata rakitan dan bom molotov di sekitar lokasi ledakan.
Amir menilai, elemen-elemen itu adalah alat komunikasi simbolik dalam dunia intelijen. “Softgun dan senjata rakitan tidak digunakan untuk operasi militer sebenarnya, tapi untuk menanamkan rasa takut. Ini adalah bentuk terror signaling —pesan ketakutan kepada masyarakat— bahwa ancaman bisa datang dari mana saja,” katanya.
Temuan tersebut memperkuat dugaan bahwa ledakan itu dirancang bukan untuk menimbulkan korban massal, melainkan untuk mengirim pesan politik dan psikologis.
Dalam konteks lebih luas, Amir menilai ledakan SMAN 72 merupakan bagian dari upaya sistematis untuk mengacaukan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. “Setiap pemerintahan baru selalu diuji oleh aktor-aktor yang ingin menguji ketahanan politik dan keamanan nasional. Dalam kasus ini, tujuannya jelas: menciptakan kesan bahwa negara tidak aman di bawah kepemimpinan baru,” ujar Amir.
Menurutnya, pemerintahan Prabowo yang sedang berupaya membangun citra kuat dan berdaulat di kancah global bisa menjadi target serangan simbolik dari pihak-pihak yang tidak menginginkan Indonesia stabil, baik dari dalam maupun luar negeri. “Prabowo dikenal berani, independen dan tidak mudah dikendalikan. Itu membuat ada pihak yang ingin mengirim sinyal bahwa kendali keamanan negara tidak sepenuhnya di tangannya,” tambah Amir.
Dari sisi geopolitik, Amir Hamzah mengaitkan ledakan ini dengan dinamika global dan regional yang sedang menghangat. Ketegangan antara kekuatan besar dunia, terutama dalam konteks keamanan maritim dan perdagangan, menjadikan Indonesia sebagai wilayah strategis dan rentan terhadap infiltrasi intelijen asing.
“Ledakan di kawasan Kodamar juga bisa dibaca sebagai pesan simbolik terhadap kekuatan maritim Indonesia. Ini momentum untuk menguji sistem keamanan laut dan pertahanan kita di bawah kepemimpinan baru,” jelasnya.
Amir mengingatkan operasi semacam ini bisa menjadi bagian dari proxy war —perang tanpa deklarasi— yang dilakukan melalui serangan terbatas, disinformasi dan provokasi publik.
Amir Hamzah menutup analisanya dengan imbauan agar pemerintah tidak meremehkan insiden SMAN 72. Ia menekankan pentingnya memperkuat kerja sama antara intelijen militer, kepolisian dan siber nasional.
“Perlu ada situational awareness tinggi. Pemerintahan Prabowo harus merespons dengan tenang tapi tegas, karena ini bukan soal satu ledakan, melainkan soal pesan di balik ledakan itu,” pungkas pria yang mengaku pernah menjadi “tukang batu” di gedung sekitar London Bridge ini. *man