
Presiden Prabowo keluar negeri, beberapa waktu lalu. *ist
Jakarta, RIC – Kondisi Indonesia kian mencekam. Demo sejak 25 Agustus hingga menjelang pagi ini, Sabtu (31/8/2025), disertai pembakaran dan penjarahan masih terjadi. Sebagaimana dalam tayang media sosial, masyarakat menyatroni rumah Sahroni, Uya Kuya, Eko Patrio, Sri Mulyani dan Puan Maharani disertai penjarahan.
Malah sejak dini hari terkabarkan pergerakan Brimob Kelapa Dua ke Mapolres Bekasi dan juga Depok. Bahkan sudah ada korban tewas karena tembakan dengan peluru tajam.
Suasana makin mencekam dan menakutkan. Terlebih masih akan ada aksi demo lebih besar lagi pada September ini dan adanya kabar perintah Kapolri untuk menembak para demonstran.
Menilik gelombang demonstrasi yang kian meluas dan mencekam di berbagai kota, disertai insiden penjarahan dan kerusuhan, membuat situasi politik nasional berada dalam kondisi tidak kondusif. Di tengah gejolak tersebut, Pengamat Intelijen dan Geopolitik Amir Hamzah mendesak Presiden Prabowo Subianto membatalkan rencana kunjungan ke Cina dan Sidang Umum PBB.
Menurut Amir, saat ini bukan waktunya bagi Kepala Negara untuk meninggalkan Tanah Air, karena absennya Presiden di tengah eskalasi konflik bisa dimanfaatkan kekuatan politik tertentu untuk menjalankan skenario kudeta terselubung. Ia menegaskan, terdapat pola pergerakan sistematis yang berpotensi melemahkan posisi kepemimpinan nasional melalui tekanan politik, propaganda, hingga eksploitasi situasi kerusuhan.
“Bukan hanya soal unjuk rasa jalanan, tetapi ada operasi pengaruh yang melibatkan aktor-aktor tertentu yang ingin memanfaatkan momentum. Jika Presiden meninggalkan Indonesia untuk agenda luar negeri, ada risiko terjadi kekosongan kepemimpinan yang bisa dieksploitasi. Inilah yang saya sebut sebagai ancaman kudeta terselubung,” ujar Amir seperti dikutip Radar Aktual, Sabtu (30/8/2025).
Aksi massa sejak beberapa hari terakhir menyebar dari pusat ibu kota hingga daerah-daerah. Sejumlah insiden penjarahan, pembakaran gedung, hingga bentrokan antara demonstran dan aparat dilaporkan terjadi. Layanan publik ikut terganggu, termasuk transportasi massal di Jakarta yang sempat lumpuh akibat dampak demonstrasi.
Di tengah kabar simpang siur yang beredar di media sosial, termasuk video dugaan penjarahan yang viral, publik dilanda keresahan. Kondisi ini, menurut Amir, tidak bisa dibiarkan tanpa kepemimpinan yang kuat dari Presiden.
“Jika presiden tidak berada di dalam negeri, narasi bahwa pemerintah lemah akan semakin menguat. Situasi bisa menjadi tidak terkendali karena rakyat merasa ditinggalkan. Itu berbahaya bagi stabilitas negara,” tegas Amir.
Geng Solo Gerogoti Prabowo
Amir menyebut adanya jaringan politik yang ia istilahkan sebagai “Geng Solo” yang tengah berupaya menggerogoti legitimasi Prabowo. Menurutnya, kelompok ini tidak bergerak frontal, melainkan perlahan dengan cara melemahkan orang-orang dekat Presiden, memancing korban dalam aksi massa, hingga memanfaatkan media sosial untuk memperbesar amarah publik.
Dalam pandangannya, keberadaan Presiden di dalam negeri menjadi faktor pengendali. Selama Prabowo ada di Jakarta, pihak-pihak yang hendak mengguncang stabilitas negara akan berpikir ulang untuk melancarkan langkah yang lebih radikal. Namun jika presiden berada di luar negeri, terutama dalam kunjungan jangka panjang seperti menghadiri parade militer di Beijing atau Sidang Umum PBB, ruang manuver kelompok ini akan lebih terbuka.
Amir menilai ada tiga risiko utama jika Prabowo tetap melakukan perjalanan ke luar negeri di tengah krisis. Pertama, kerusakan legitimasi politik karena publik bisa menilai presiden lari dari tanggung jawab. Kedua, melemahnya koordinasi keamanan karena keputusan penting akan berpindah ke tangan pejabat lain yang bisa saja dipengaruhi oleh tekanan politik. Ketiga, memberi peluang bagi aktor domestik maupun eksternal untuk memperkuat narasi delegitimasi dan mendorong perubahan kekuasaan melalui jalur non-konstitusional.
“Kunjungan ke luar negeri itu penting untuk diplomasi, tetapi dalam situasi seperti ini, prioritasnya adalah menyelamatkan stabilitas internal. Negara lain justru akan menilai Indonesia lebih kuat jika pemimpinnya mampu mengendalikan krisis sebelum tampil di panggung internasional,” tegas Amir.
Sejauh ini, undangan resmi untuk menghadiri parade militer di Beijing pada 3 September serta agenda Sidang Umum PBB tetap tercatat dalam kalender kenegaraan. Namun, desakan dari publik, diplomat, hingga pengamat seperti Amir Hamzah semakin menguat agar Presiden menunda perjalanan tersebut.
Amir menutup analisanya dengan peringatan sejarah Indonesia telah mencatat bagaimana krisis politik bisa berubah menjadi peralihan kekuasaan. Menurutnya, pembelajaran dari masa lalu harus diantisipasi dengan kehadiran kepemimpinan yang solid di dalam negeri.
“Indonesia tidak boleh mengulangi skenario 1998 dalam versi baru. Presiden harus hadir di tengah rakyat, bukan meninggalkan negeri ketika badai sedang mengguncang,” pungkas Amir. *man