
Sufni Dasco Ahmad bersama Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri berserta putra - putrinya. *ist
Oleh: Amir Hamzah, Pengamat Geopolitik dan Intelijen
DI TENGAH dinamika dan gejolak politik nasional, muncul satu nama yang kian menarik perhatian: Sufmi Dasco Ahmad. Ketua Harian DPP Partai Gerindra —partai besutan Prabowo Subianto ini— dijuluki “kancil” oleh Sang Ketua Umum. Julukan itu bukan tanpa alasan.
Dalam tradisi cerita rakyat, kancil adalah simbol kecerdikan, kelincahan dan kemampuan mengatasi rintangan dengan akal, bukan kekuatan. Maka tak heran bila Prabowo menyematkan nama itu kepada Dasco. Karena dalam rimba belantara politik Indonesia yang dipenuhi oleh “buaya-buaya politik”, Dasco berhasil menaklukkan mereka satu per satu, tanpa luka, tanpa gaduh, bahkan sering tanpa disadari.
Sufmi Dasco Ahmad bukan politikus yang doyan tampil heroik di layar kaca. Ia bekerja di balik layar, mengelola kekuasaan, jaringan dan konflik dengan presisi diam-diam. Ia bukan orator, tapi komunikator ulung. Bukan pemegang tongkat komando di kabinet, tapi penentu arah manuver partai dan parlemen. Ia tak memimpin lembaga tinggi negara, tapi mampu membisikkan keputusan-keputusan penting pada pucuk kekuasaan.
Banyak tokoh besar di dunia politik, kita tahu, berperilaku seperti buaya: berdiam lama di air tenang, menunggu saat menyerang, menggigit dan menyeret ke dasar. Tapi Dasco seperti tahu betul anatomi buaya-buaya itu. Ia tak melawan secara frontal. Ia justru mengelus, menyapa, bahkan mengajak berenang bersama. Hingga buaya-buaya itu jinak, lupa menggigit.
Politik semacam itu adalah seni kecerdikan tinggi, seni “politik kancil”. Seni yang membutuhkan kemampuan membaca suasana batin elite, membaca gerak aliran kekuasaan dan menciptakan konsensus tanpa gembar-gembor. Dalam istilah geopolitik, gaya Dasco lebih mirip soft infiltration dibanding confrontation.
Lihatlah bagaimana Partai Gerindra pada Pemilu 2024 lalu berhasil bertahan solid di tengah godaan besar dari elite-elite buaya politik yang berupaya mencabik internal partai besar lain. Ketika partai-partai lain porak-poranda karena konflik internal dan eksodus kader, Gerindra justru relatif tenang. Dasco memainkan peran sebagai “lem perekat”, mempersatukan kader, mengelola faksi dan meredam api sebelum membesar.
Lalu, bagaimana ia mendekati partai-partai rival yang dulunya berseberangan? Kita tahu ada kubu-kubu politik yang tak pernah akur satu dekade terakhir. Tapi berkat pendekatan ala kancil, Dasco berhasil membuka kanal komunikasi lintas kubu, menurunkan tensi dan mempersatukan faksi-faksi demi mendukung pemerintahan Prabowo-Gibran.
Dan tentu, tak bisa dilupakan, adalah peran sentral Dasco dalam mengarahkan arah parlemen menjelang Pemilu, hingga mengawal transisi kekuasaan pasca kemenangan Prabowo dengan adem ayem, nyaris tanpa benturan tajam. Ini tak bisa disebut kebetulan, melainkan hasil dari kalkulasi, intuisi politik dan kelihaian negosiasi.
Ada anggapan bahwa gaya Dasco yang ‘diam’ dan ‘halus’ justru menunjukkan kelemahan. Pandangan itu keliru. Dalam banyak peristiwa politik besar dunia, para pemain hebat bukanlah mereka yang ribut berdebat, tapi mereka yang tenang mengunci lawan-lawan dalam kesepakatan. Itulah yang dilakukan Dasco. Dalam arena keras kekuasaan, ia tahu kapan harus maju, kapan harus mundur dan kapan cukup diam saja.
Dasco bukan tipe politikus populis. Ia tidak mengejar simpati publik lewat kontroversi. Tapi justru karena itu, ia mampu menjaga stabilitas. Kestabilan itulah yang dibutuhkan dalam dunia intelijen dan geopolitik hari ini —di mana benturan ideologi, konflik elite dan manuver asing kian kompleks.
Dengan kemampuan menjinakkan buaya-buaya politik tanpa pertumpahan darah, Dasco sesungguhnya sedang mengukir posisi strategis dalam peta kekuasaan Indonesia ke depan. Ia bisa menjadi king maker, pemimpin parlemen jangka panjang atau bahkan calon presiden bayangan yang diam tapi mematikan.
Dalam konteks geopolitik, Indonesia butuh pemain seperti Dasco: penuh kalkulasi, tidak mudah dipancing emosi dan memahami bagaimana menavigasi badai dari dalam sistem. Pemain seperti ini tak banyak. Ia bukan hanya loyalis Prabowo, tapi kader sistem yang bisa menyambung kesinambungan kekuasaan dengan stabilitas jangka panjang.
Dalam cerita klasik, kancil menang bukan karena kuat, tapi karena berpikir lebih cepat dari lawannya. Ia tidak menggertak, tapi menyusun jebakan logika. Ia tidak membunuh, tapi mengarahkan lawan untuk takluk sendiri.
Begitulah Dasco. Ia bisa menjinakkan buaya tanpa buaya itu sadar sedang dijinakkan. Dan ketika buaya sudah berenang tenang di kolam yang ia kontrol, Dasco pun tersenyum diam, seperti biasa —tanpa gaduh, tanpa drama. ****