
Sufni Dasco Ahmad bersama Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri berserta putra - putrinya. *ist
Oleh: Amir Hamzah, Pengamat Geopolitik dan Intelijen
JULUKAN ‘kancil’ yang diberikan Presiden Prabowo Subianto kepada Ketua Harian DPP Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, bukanlah sekadar kiasan. Ia bukan hanya simbol kecerdikan sebagaimana dalam cerita rakyat Nusantara, tetapi juga perlambang dari kelihaian strategis seorang aktor politik yang mampu menjembatani kepentingan dan konflik dalam iklim demokrasi yang kerap terpolarisasi.
Dalam kacamata geopolitik dan intelijen, posisi Dasco bukan sekadar elite partai atau tangan kanan presiden. Ia adalah katalis rekonsiliasi nasional yang mengatur tempo, memainkan bahasa diplomasi dan merangkai kompromi tingkat tinggi di balik panggung kekuasaan.
Langkah Presiden Prabowo menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) tentang Abolisi untuk Thomas Lembong dan Amnesti terhadap Hasto Kristiyanto bukan semata tindakan hukum, melainkan manuver politik yang sarat makna. Dalam setiap peristiwa besar di panggung kekuasaan, selalu ada figur di balik layar yang merajut benang merah antara berbagai kepentingan. Di sinilah peran Sufmi Dasco menjadi sangat krusial.
Dalam catatan saya, Dasco merupakan aktor politik yang sangat tenang, namun presisi dalam membaca peta konflik. Ia memahami betul bahwa stabilitas pemerintahan Prabowo – Gibran tidak dapat dibangun dengan basis balas dendam atau kekakuan ideologis. Ia melihat bahwa bangsa ini perlu penyatuan, bukan perpecahan lanjutan dari polarisasi Pemilu 2024.
Melalui pendekatannya yang low profile namun mengakar, Dasco berhasil menjalin komunikasi yang intens dengan kubu – kubu yang selama ini berseberangan dengan Prabowo. Ia dikenal oleh para elit sebagai politisi yang reliable dan tidak mudah terpancing euforia kekuasaan. Dalam skenario pemberian abolisi dan amnesti ini, Dasco diyakini menjadi broker yang merancang jalur-jalur kompromi antara kekuatan – kekuatan besar nasional, termasuk dengan kalangan bisnis, LSM dan tokoh – tokoh masyarakat sipil.
Kekuatan Dasco bukan pada pidato bombastis atau mobilisasi massa besar – besaran, melainkan pada konsolidasi senyap dan lobi sistematis. Seperti kancil yang cerdik dalam menyelamatkan diri dari ancaman, Dasco kerap berhasil mengarahkan jalannya peristiwa tanpa harus tampil menjadi pusat sorotan.
Kita bisa melihat peran itu sejak rekonsiliasi pasca-Pemilu 2019, ketika Prabowo bergabung ke kabinet Jokowi. Dasco adalah sosok yang menjembatani komunikasi antara kubu Jokowi dan Gerindra. Ia pula yang membangun komunikasi politik yang rapi menjelang Pilpres 2024, yang akhirnya berbuah pada pasangan Prabowo – Gibran yang sangat strategis secara elektoral.
Kini, dengan langkah abolisi dan amnesti yang penuh risiko namun sarat kemanusiaan, Dasco lagi-lagi menunjukkan bahwa politik tidak harus penuh permusuhan. Ia memahami bahwa kekuasaan harus menjadi alat penyembuh luka bangsa, bukan pisau pemecah.
Presiden Prabowo tampaknya menerapkan strategi politik tiki – taka —saling mengoper dan mengatur ritme permainan— dalam menjalankan pemerintahannya. Dan Dasco adalah playmaker-nya. Seperti dalam sepak bola, tiki – taka memerlukan kepercayaan antarpemain dan kemampuan membaca permainan lawan.
Dasco memainkan peran itu dengan baik. Ia tahu kapan harus mendorong agenda, kapan harus menahan dan kapan harus mengirimkan umpan ke presiden untuk mencetak “gol politik”. Dalam konteks ini, abolisi untuk Tom Lembong yang sebelumnya bersikap oposisi, serta amnesti terhadap Hasto yang merupakan simbol perlawanan PDIP terhadap Prabowo, adalah dua “gol besar” yang hanya bisa tercipta lewat koordinasi matang dan strategi cermat.
Dasco juga memiliki satu keunggulan lain yang langka di kalangan elit politik: kemampuan menjembatani tanpa harus memaksakan homogenitas. Ia tidak mencoba menjadikan semua pihak menjadi sama, melainkan menciptakan ruang dialog yang saling menghormati keberbedaan.
Dalam konteks nasional yang rawan gesekan etnis, agama dan ideologi, figur seperti Dasco sangat dibutuhkan. Ia membawa politik kembali pada fungsinya yang paling luhur: sebagai alat untuk menciptakan keadilan, perdamaian dan kesejahteraan bersama.
Sufmi Dasco Ahmad bukan sekadar politisi senior atau loyalis Prabowo. Ia adalah arsitek harmoni, ‘kancil’ yang menggunakan kecerdikannya untuk kepentingan bangsa, bukan pribadi. Dalam geopolitik, figur seperti ini menjadi aset strategis —ia mampu meredam konflik domestik yang jika dibiarkan bisa menjadi kerentanan nasional.
Presiden Prabowo tampaknya menyadari hal ini. Maka, ketika ia menyebut Dasco sebagai kancil, ia tidak hanya sedang bersenda gurau. Ia sedang memberi kode keras kepada publik bahwa ada kekuatan lembut di balik kekuatan keras negara. Dan kekuatan itu adalah kekuatan persatuan.
Indonesia membutuhkan lebih banyak “kancil” seperti Dasco. Bukan untuk mengelabui, tetapi untuk menavigasi bangsa ini menuju peradaban yang lebih matang. ****