
Kota Global - Wacana Kota Global Mengemuka dalam rapat Banggar karena antara cita - cita dan realita tidak selaras karena masih ada warga yang putus sekolah karena masalah biaya. *Andreas/ric
BELAKANGAN orang bicara Jakarta Kota Global. Bukan hanya rakyat biasa tetapi juga gubernur, pegawai dan wakil rakyat di DPRD DKI Jakarta. Tidak tanggung-tanggung, tahun 2030 Jakarta masuk 50 besar Kota Global. Luar biasa cita- cita. Hebat keinginannya. Tidak apa-apa namannya juga cita cita, harapan dan keinginan.
Tetapi yang namanya cita-cita dan keinginan harus dibarengi dengan upaya sungguh – sungguh dengan perencanaan dan tahapan yang jelas dan matang dengan melihat dan berpijak pada realitas yang ada, tidak mengawang.
Lalu bagaimana realitasnya? Bagaimana faktanya? Kenyataannya, masih ada warga putus sekolah hanya karena tidak punya biaya, tidak punya uang. Sementara di sisi lain, begitu indah bicara Jakarta menuju Kota Global.
Itulah salah satu hal yang dilihat Lukman Hakim, salah seorang anggota Badan Anggaran (Banggar). Miris, kata Lukman dalam rapat Banggar, Senin (28/7/2025), di Ruang Paripurna DPRD DKI Jakarta.
Dalam rapat Banggar yang dipimpin Ketua DPRD DKI Jakarta Koirudin, Lukman mengatakan, miris kalau bicara Jakarta menuju Kota Global sementara fakta lapangan menunjukkan masih ada warga yang putus sekolah karena tidak punya biaya, tidak punya uang.
“Bagaimana bicara Kota Global kalau masih ada rakyat tidak bisa sekolah karena tidak punya uang. Bagaimana bicara Kota Global bila rakyat masih miskin,” kata Lukman yang meminta perhatian sungguh – sungguh pemerintah daerah.
Di sisi lain, dalam rapat Banggar, Inggard Joshua yang juga Ketua Komisi A, pun mempersoalkan sekaligus mempertanyakan masih banyak kawasan kumuh di Jakarta. “Kita bicara Kota Global tetapi masih banyak RT kumuh karena itu perlu perhatian sungguh-sungguh dan koordinasi yang baik dalam memperbaiki kawasan kumuh Jakarta”.
Apa yang diungkapkan Lukman dan Inggard, adalah hal- hal yang harus diperhatikan tatkala bicara Jakarta menuju Kota Global. Hal ini penting agar pada tahun 2030, tidak ada lagi kemiskinan, warga putus sekolah karena tidak ada biaya dan tidak ada kawasan kumuh.
Apa yang dikemukakan Lukman dan Inggard benar. Bahkan tanpa bicara Kota Global pun hal seperti itu, putus sekolah, kemiskinan dan kawasan kumuh menjadi kewajiban pemerintah untuk menyelesaikannya. Itu hak rakyat dan itu menjadi kewajiban pemerintah.
Sebenarnya, kalau mau jujur, banyak hal yang seharusnya menjadi perhatian serius Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta. Apalagi selalu bicara Kota Global, Jakarta masuk 50 Kota Global dunia di tahun 2030.
Bukan hanya putus sekolah, kemiskinan, kawasan kumuh tetapi banyak lain perlu mendapat perhatian. Sampah berserakan, semrawutnya Jakarta. Trotoar tempat pejalan kaki menjadi tempat dagang dan parkir kendaraan. Juga bahu jalan menjadi tempat pakir kendaraan dan pedagang kaki lima.
Tetapi, semua ini seperti biasa saja, tidak salah karena kesalahan sudah biasa sehingga menjadi benar. Bukannya, membiasakan yang benar tetapi membenarkan yang biasa, yang salah menjadi benar.
Karena itu, kalau bicara Kota Global, mestinya, dalam lima tahun ini harus jelas. Apa masalahnya yang harus diselesaikan dalam lima tahun mendatang menuju Kota Global. Dan, bagaimana tahapan – tahapan setiap tahun dalam lima tahun ini.
Tahun pertama apa yang harus dilakukan, tahun kedua, apa yang mesti dibereskan dan begitu pula tahun ketiga dan seterusnya, sehingga pada akhir tahun ke lima tahun 2030, semua jelas, semua beres dan Jakarta Kota Global menjadi kenyataan.
Bila tahapannya tidak jelas, Jakarta masuk 50 Kota Global hanya narasi, kata-kata, omon-omon verbalis atau tidak berlebihan bila dikatakan sebuah khayalan. Semoga tidak terjadi dan impian Jakarta Kota Global di tahun 2030 jadi nyata.*
*andreas, pemimpin redaksi realitasindonesia.com