
Achmad Fachruddin, Akademisi Universitas PTIQ Jakarta. *ist
Oleh: Achmad Fachrudin, Akademisi Universitas PTIQ
STUDI di perguruan tinggi masih menjadi impian setiap anak Indonesia yang lulus SMA/SMK atau SLTA. Sehingga terjadi glorifikasi dan mistifikasi terhadap status mahasiswa atau sarjana. Alasannya, dengan mengenyam pendidikan tinggi, mereka berasumsi masa depan seseorang dianggap bakal cerah. Itulah sebabnya, animo untuk studi di universitas tetap tinggi. Peluang ini dimanfaatkan oleh pengelola perguruan tinggi negeri maupun swasta untuk mempromosikan kepada lulusan SLTA agar studi pada perguruan tinggi yang dikelola.
Berdasarkan data Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PD Dikti), terdapat 4.523 perguruan tinggi di Indonesia pada tahun 2023. Jumlah ini terdiri dari berbagai jenis, seperti Perguruan Tinggi Negeri (PTN), Perguruan Tinggi Swasta (PTS), dan Perguruan Tinggi Kedinasan (PTK). Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PD Dikti) mencatat ada 4.523 perguruan tinggi di Indonesia pada tahun 2023.
Sementara jumlah kampus Islam, terdapat 58 Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PT KIN), terdiri dari 29 UIN, 24 IAIN, dan 5 STAIN. Selain itu, ada ribuan Perguruan Tinggi Islam Swasta (PT KIS) yang dikelola oleh masyarakat. Setiap tahunnya, diperkirakan universitas di Indonesia mencetak sekitar 1,4 hingga 1,8 juta lulusan sarjana atau diploma dengan usia 25-34 tahun.
Angka tingkat produksi sarjana tersebut bervariasi. Sedikit tergantung pada sumber dan tahun data. Kumparan misalnya melaporkan, 1,4 juta lulusan sarjana dan D3 per tahun. Sementara Medcom.id menyebutkan 1,5 juta lulusan sarjana dan diploma. Republika.co melaporkan 1,85 juta lulusan sepanjang tahun 2022. Data diatas belum termasuk PT KIN, baik negeri maupun swasta, yang juga meluluskan para sarjana.
Jika diakumulasi, setiap tahun Indonesia bisa mencetak sarjana baru sekitar 2 juta. Meski demikian, berdasarkan data OECD (Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi), dari 48 negara-mitra OECD, jumlah lulusan perguruan tinggi di Indonesia terendah kedua di dunia, dengan Afrika Selatan di urutan paling buncit. Sedangkan negara dengan jumlah lulusan perguruan tinggi terbanyak adalah Korea Selatan. Saat ini di dunia, 69 persen penduduk dengan kelompok usia 25-35 tahun memiliki gelar sarjana.
Ranking Buncit
Masalahnya tingginya jumlah perguruan tinggi dan animo mahasiswa berkuliah tidak sepenuhnya simetris dengan kualitas lulusannya. Secara umum, kualitas lulusan perguruan tinggi di Indonesia masih di bawah standar internasional. Terutama jika dibandingkan dengan maju seperti Amerika Serikat, Eropa, Jepang, Korea Selatan, Cina, dan sebagainya. Beberapa faktor yang menyebabkan hal ini terjadi antara lain karena kurikulum belum compatible dengan kebutuhan industri, kurangnya kualitas dosen, kurangnya riset inovatif serta empirik dan lain-lain.
Dampaknya perguruan tinggi di Indonesia tidak masuk dalam daftar 200 terbaik di dunia. Mengacu data University Rankings 2024, hanya sedikit perguruan tinggi Indonesia yang masuk peringkat 500 besar dunia. Sementara universitas tetangga seperti Malaysia dan Singapura, banyak memiliki peringkat lebih baik dalam peringkat global.
Kalah jauhnya kualitas universitas di negeri ini dibandingkan dengan lulusan perguruan tinggi di luar negeri diakui Ketua Umum Kadin Suryo Bambang Sulisto, Kamis (4/6/2015). Hal senada diafirmasi Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Edy Suandi Hamid. Edy mencontohkan sistem pendidikan di Korea Selatan, dimana 60% materi pendidikan di negara tersebut adalah praktik lapangan. Sementara sistem pendidikan di Indonesia praktik lapangan hanya sekitar 20%.
Rendahnya kualitas pendidikan perguruan tinggi di Indonesia berdampak pada daya saing. Riset International Institute for Management Development (IMD) World Talent Ranking (WTR) 2024 menyebutkan, Indonesia di urutan 47 dunia dari 67 negara dunia yang disurvei. Peringkat 47 tersebut merupakan data 2024, atau naik satu tingkat dari tahun 2023. WTR 2024 adalah pemeringkatan berdasarkan tingkat kemampuan dan keahlian tenaga kerja di suatu negara. Khususnya kemampuan dalam hal mengisi lowongan pekerjaan baru dan kemampuan bisnis mengembangkan keterampilan karyawan yang ada.
Beragam Penyebab
Banyak faktor yang menyebabkan masih rendahnya kualitas pendidikan tinggi di Indonesia. Berbagai faktor tersebut berjalin berkelindan sehingga spektrumnya menjadi sangat kompleks dan tidak mudah untuk menawarkan solusi yang efektif. Dari sisi pengelola universitas, diantara problemnya: pertama, orientasi perguruan tinggi lebih banyak pada memperbanyak jumlah mahasiswa namun mengabaikan kualitas proses pembelajaran. Kedua, tidak terjadi link and match (mismacht) antara lulusan perguruan tinggi dengan pasar kerja atau kebutuhan dunia kerja.
Ketiga, banyak program studi di sejumlah perguruan tinggi sudah masuk kategori jenuh karena kurang peminat atau karena prospek lapangan kerjanya makin sempit. Keempat, tidak banyak universitas mempunyai laboratorium praktikum bagi mahasiswa yang memadai. Kelima, masih jarang kampus yang memiliki lembaga atau klinik khusus yang memberi konsultasi, bimbingan serta memberi solusi bagi mahasiswa yang memiliki problem disorientasi atas masa depannya, khususnya terkait dengan dunia kerja.
Dari sisi sisi lulusannya, diantara problemnya pertama, seringkali tidak bersedia bekerja pada pekerjaan setara dengan tingkat pendidikan SMA/SMK/SLTA. Padahal lowongan pekerjaan tersedia, banyak se-tingkat lulusan SLTA. Kedua, para sarjana baru terlalu orientasi pada sektor formal (pegawai negeri maupun swasta) padahal kapasitas lowongan di sektor tersebut sangat terbatas. Ketiga, rendahnya pengetahuan, wasasan dan terutama standar kompetensi kewirausahaan. Karena saat kuliah sekadar gengsi, memenuhi absensi (kehadiran) dan berburu ingin cepat mendapat gelar sarjana.
Kondisi memperihatinkan tersebut dikontribusi dari faktor orang tua yang merasa jika sudah menguliahkan anaknya dianggap tugasnya sudah selesai. Sebagian orang tua juga terlalu percaya diri bahwa semua kampus akan mampu mencetak lulusan berkualitas dan siap kerja. Dua kondisi tersebut mengakibatkan sangat jarang orang tua memantau, mengawasi dan melakukan cek dan ricek mengenai proses dan kualitas belajar anak-anaknya. Biasanya orang tua baru ngeh (sadar) setelah anak-anaknya mendapat gelar sarjana namun defisit kualitas dan tidak bisa bekerja dengan baik.
Faktor lainnya sebagai dampak pertumbuhan ekonomi Indonesia belakangan ini terseok-seok hingga hanya sekitar 4 persen pertahun; terjadinya gejala deindustrialisasi dan bahkan perusahaan yang sudah lama beroperasi gulung tikar; teknologisasi dan digitalisasi yang mengakibatkan terjadinya pergantian aktivasi manusia kepada robot atau mesin; keterbatasan lapangan pekerjaan bergaji tetap dan tingkat upahnya memadai; sarat nepotisme dan kolusi dalam rekrutmen tenaga kerja dan sebagainya.
Barisan Pengangguran Baru
Potret buram dunia pendidikan tinggi di Indonesia mengakibatkan dua dampak serius. Yakni: pertama, para sarjana baru atau sarjana masih fresh gradute (dua hingga tiga tahun setelah lulus), terancam masuk pada barisan yang mendapat lebel dengan plesetan ‘Drs’ (di rumah saja) karena tidak mampu mengabdi dan terutama bekerja. Manakala lebeling ‘Drs’ terlalu lama, berbulan-bulan bahkan hingga bertahun-tahun, akan beroleh stigma lebih parah, yakni: ‘Spd’ (sarjana penuh derita). Bahkan bisa diberi lebeling atau gelar ‘SH’ (susah hidup).
Dampak kedua, para sarjana baru itu akan masuk pada barisan pengangguran yang sebelumnya sudah menganggur penuh atau setengah penganggur. Dari tahun ke tahun potensi kaum terdidik menganggur sangat besar atau sekitar 65% lebih dari total pengangguran yang berpendidikan SMA ke atas. Ini berarti lebih dari setengah pengangguran adalah mereka yang memiliki pendidikan lebih tinggi. Pengangguran lulusan perguruan tinggi telah meningkat, terutama pasca pandemi Covid-19, dengan jumlah 832.975 orang atau 9,9% dari total pengangguran.
Sementara jumlah pengangguran saat ini, menurut Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti di Indonesia meningkat menjadi 7,28 juta orang per Februari 2025. Pada periode yang sama, total angkatan kerja bertambah 3,67 juta orang menjadi 153,05 juta jiwa. Manakala para sarjana baru akan menjadi pasukan pengangguran baru, maka pengangguran di Indonesia akan tambah membludak.
Menjadi sarjana pengangguran selain mengakibatkan apa yang diimpikan tidak sesuai dengan realitasnya, juga berdampak negatif lainnya. Yakni: berpotensi menjadi kelompok white color crime atau penjahat berkerah putih. White collar crime adalah tindak pidana non-kekerasan yang dilakukan orang-orang berpendidikan atau status sosial ekonomi tinggi. Kalangan berpendidikan tinggi dan sekaligus pengangguran, berpotensi melakukan tindak pidana kriminalitas dengan perhitungan matang dan memanfaatkan perangkat teknologi digital.
Secercah Solusi
Guna keluar dari krisis atau lingkaran setan pengangguran sarjana, diperlukan langkah komprehensif, holistik dan integrated dengan melibatkan pemerintah khususnya kementerian terkait, legislatif, pimpinan dan pengelola universitas, dunia usaha dan sebagainya. Semua kalangan harus berkolaborasi dan duduk bersama bukan sekadar berdiskusi prihal masalahnya melainkan yang terpenting mampu mencari solusi secara epistemologis maupun secara empirik dan konkrit.
Salah satu langkah penting yang perlu diambil adalah menyesuaikan kurikulum Pendidikan. Tujuannya agar lebih berorientasi pada keterampilan (skill-based learning), seperti penguasaan teknologi digital, komunikasi efektif, manajemen proyek, pemecahan masalah, serta kewirausahaan. Kurikulum juga harus selaras dengan kebutuhan pasar kerja melalui kerja sama antara institusi pendidikan, dunia industri, dan pelaku usaha (link and match).
Selain itu, penguatan soft skills seperti critical thinking (berpikir kritis), creative solution (solusi kreatif), communication skill (keterampilan komunikasi), collaboration skill (keterampilan berkolaborasi) dan lain-lain, juga sangat penting. Di sisi lain, hard skills seperti keterampilan dalam pemrograman (coding), analisis data, desain grafis, penguasaan bahasa asing, dan keahlian digital lainnya harus turut dikembangkan.
Pemerintah dan perguruan tinggi perlu menyediakan pelatihan, program inkubasi bisnis, akses pendanaan, serta pendampingan (mentoring) untuk mendorong lulusan menjadi wirausahawan. Lulusan sarjana juga perlu diarahkan untuk memanfaatkan peluang usaha melalui e-commerce, dropshipping, layanan kreatif, dan bisnis berbasis teknologi.
Lebih jauh, universitas didorong untuk menyediakan program magang, baik di dalam maupun luar negeri, serta kerja lapangan atau studi independen. Mahasiswa perlu diberi kesempatan untuk terlibat dalam proyek-proyek nyata yang langsung berkaitan dengan kebutuhan industri atau dunia kerja.
Berbagai program lainnya yang bisa dilakukan agar sarjana baru tidak masuk dalam rombongan pengangguran baru adalah dengan pemanfaatan teknologi dan freelance, pemetaan dan pendataan tenaga kerja terampil, pelatihan dan reskilling oleh pemerintah, peningkatan mobilitas dan akses informasi kerja. Hal ini penting dilakukan karena banyak sarjana belum mendapat pekerjaan bukan karena kurang kompeten, tapi karena kurang akses informasi lowongan kerja.
Selain itu, perlu ada penyebaran informasi yang lebih luas dan platform rekrutmen yang menjangkau pelosok. Serta memperbanyak job fair dengan lokasi yang strategis dan transportasinya mudah dijangkau. Sementara kesadaran intrinsik dan inner dynamic mahasiswa semasa masih kuliah agar berkuliah secara aktif, responsif, kritis-konstruktif, sungguh-sungguh, konkrit dan bertanggung jawab, diatas segalanya yang harus dilakukan. Serta diperlukan pemantauan dan pengawasan ketat oleh orang tua mengenai aktivitas mahasiswa saat masih kuliah. *