
Pengamat Intelijen dan Geopolitik Amir Hamzah.
Jakarta, RIC – Presiden Prabowo Subianto menugaskan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka fokus menangani masalah Papua dan berkantor di wilayah itu. Penugasan tersebut menjadi sorotan tajam. Penugasan ini juga bisa dinilai untuk menguji kemampuan sekaligus bisa jadi jebakan.
Terkait penugasan tersebut, Pengamat Intelijen dan Geopolitik Amir Hamzah menyatakan, langkah Presiden Prabowo Subianto itu adalah sinyal politik yang kuat: Gibran mulai dikucilkan secara sistematis dari pusat kekuasaan nasional.
Menurut Amir, penempatan Gibran di Papua ibarat penempatan seorang pejabat yang “disingkirkan secara halus” ke wilayah konflik, jauh dari hiruk-pikuk politik ibu kota. “Kalau istilah di birokrasi atau militer, itu seperti dikirim ke pos perbatasan atau daerah operasi militer. Ada kesan Gibran sedang dijauhkan dari pengaruh Jakarta, dari pusat kendali kekuasaan,” ungkap Amir kepada wartawan, Selasa (8/7/2025).
Penugasan ini bukan murni berdasarkan kebutuhan strategis penanganan Papua, tetapi lebih pada kalkulasi politik dalam lingkaran Istana. “Selama ini, Papua selalu menjadi ranah yang ditangani oleh TNI, BIN dan kementerian terkait. Wapres selama ini lebih banyak peran simbolik. Tiba-tiba Gibran diberi peran taktis-strategis di Papua? Itu tidak lazim,” tegas Amir.
Dalam pandangan Amir, penugasan ini menunjukkan dua hal: pertama, adanya upaya membatasi ruang gerak Gibran setelah dilantik menjadi Wakil Presiden. Kedua, indikasi Prabowo ingin agar Gibran “sibuk sendiri” jauh dari pusat kekuasaan.
“Kalau Gibran sibuk dengan Papua, maka ia tidak akan punya waktu membangun jejaring politik di pusat. Padahal, dari awal, Gibran sudah punya basis elektoral, popularitas dan jaringan relawan. Itu bisa dianggap ancaman oleh siapa pun yang duduk sebagai Presiden,” kata Amir.
Amir menyinggung penugasan pejabat ke Papua dalam sejarah Indonesia kerap diartikan sebagai bentuk pembatasan. “Papua itu wilayah sensitif, rawan konflik dan secara geopolitik sangat kompleks. Mengirim pejabat tinggi ke sana bisa bermakna dua: memberi mandat besar atau menyingkirkan secara halus. Dalam kasus Gibran, saya melihat ini yang kedua,” tegasnya.
Amir bahkan menyamakan pola ini dengan strategi lama rezim-rezim sebelumnya, yang cenderung menggeser tokoh-tokoh potensial ke luar Jawa untuk meminimalkan pengaruhnya di pusat kekuasaan. “Dalam dunia intelijen politik, ini disebut isolasi fungsional. Masih diberi jabatan, tapi tidak lagi punya akses strategis,” jelas Amir.
Langkah ini juga punya kaitan erat dengan peta politik 2029. Banyak kalangan melihat Gibran sebagai calon kuat penerus Prabowo jika tidak ada aral melintang. Namun bila sejak dini ia dikunci di wilayah pinggiran, maka peluang itu bisa terkikis.
“Peta kekuasaan itu dibentuk dari sekarang. Jika Gibran dijauhkan dari pusat, maka kemungkinan ia untuk jadi ‘kandidat kuat’ di 2029 akan semakin kecil. Dan itu mungkin memang sedang dirancang,” ucap Amir.
Namun, Amir juga mengingatkan upaya penyingkiran seperti ini justru bisa memperkuat simpati publik terhadap Gibran. “Bisa jadi ini bumerang. Rakyat melihat Gibran ‘dikorbankan’ dan itu justru bisa menaikkan citra politiknya. Apalagi kalau Gibran berhasil membuat perubahan nyata di Papua,” kata Amir.
Amir menilai Prabowo Subianto memainkan strategi halus untuk menyeimbangkan kekuatan internal Istana. Gibran diberi tugas, tetapi dengan ruang yang terisolasi. Publikasi penugasan ke Papua tampak sebagai bentuk pengakuan, padahal bisa saja dimaknai sebagai bentuk pengasingan politik yang canggih.
“Ini bukan konflik terbuka, tapi lebih ke pembatasan pengaruh. Dalam politik, itu lebih efektif karena tidak menimbulkan gejolak. Tapi aktor yang disingkirkan tetap bisa merasa: saya sedang dijauhkan,” pungkas Amir. *man